ABSTRAK
Latar
belakang Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sangat diperlukan oleh remaja
sejak memasuki masa pubertas. Akan tetapi, pendidikan kesehatan reproduksi di
Indonesia masih jarang dilaksanakan. Perlu ada pendidikan untuk mencegah
terjadinya masalah terkait kesehatan
reproduksi,
salah satunya melalui penyuluhan.Tujuan Mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap
tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja siswa SMP N 1 Lohbener. Metode
Penelitian ini menggunakan rancangan quasi-experimental one group pretest-post test
design. Sebanyak 33 sampel diambil secara cluster sampling dari siswa kelas II.
Subyek diberi kuesioner pre test dilanjutkan dengan penyuluhan, dan diberi kuesioner
post test satu minggu setelahnya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
paired t test dan alternatifnya yaitu uji Wilcoxon. Hasil Terdapat perbedaan
tingkat pengetahuan yang bermakna setelah dilakukan penyuluhan (p<0,01). Perbedaan tingkat pengetahuan
yang bermakna ada pada topik anatomi dan fisiologi kesehatan reproduksi, cara
memelihara kesehatan organ reproduksi, serta penyakit menular seksual (PMS) dan
HIV/AIDS dengan nilai p masing-masing 0,028; 0,022; dan 0,013 secara berurutan.
Kesimpulan Penyuluhan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan kesehatan
reproduksi remaja siswa SMP N 1
Lohbener. Terdapat peningkatan pengetahuan pada topic anatomi dan fisiologi
organ reproduksi, cara memelihara kesehatan reproduksi, serta penyakit menular seksual
(PMS) dan HIV/AIDS.
Kata
kunci penyuluhan, tingkat pengetahuan, kesehatan reproduksi, remaja
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan reproduksi, sama halnya dengan kesehatan pada
umumnya, adalah hak setiap manusia. Untuk mampu mencapainya, diperlukan
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang benar dan komprehensif.
Pengetahuan tersebut didapatkan melalui berbagai sarana, salah satunya adalah
pendidikan. Pendidikan merupakan cara yang paling penting dan efektif untuk
memperoleh pengetahuan tentang kesehatan reproduksi.
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sangat diperlukan
oleh masyarakat, khususnya penduduk remaja. Survei World Health Organization
(WHO) tahun 2010, kelompok usia remaja (10-19 tahun) menempati seperlima jumlah
penduduk dunia, dan 83% di antaranya hidup di negara-negara berkembang. Usia
remaja merupakan usia yang paling rawan mengalami masalah kesehatan reproduksi
seperti kehamilan usia dini, aborsi yang tidak aman, infeksi menular seksual
(IMS) termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV), pelecehan seksual dan
perkosaan. Dengan adanya pendidikan diharapkan masalah-masalah tersebut dapat
dicegah.
Di Indonesia, pendidikan kesehatan reproduksi belum banyak
dilakukan. Pendidikan kesehatan reproduksi tidak tercakup di dalam kurikulum
sekolah seperti yang direkomendasikan oleh WHO karena adanya konflik antara
nilai tradisi Indonesia dengan
globalisasi kebarat-baratan yang dianggap muncul seiring adanya pendidikan
kesehatan reproduksi. Di sisi lain, kasus-kasus yang berhubungan dengan
kesehatan reproduksi di Indonesia masih tinggi. Sebagai contoh, angka remaja
wanita usia 15-19 tahun yang melahirkan pada tahun 2002-2007 mencapai 52 per
1000 orang. Data dari Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa sejak April hingga
Juni 2011, jumlah kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) baru yang
dilaporkan adalah 2.001 kasus dari 59 kabupaten/kota di 19 propinsi. Kota Indramayu
sendiri menjadi kota dengan jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak di seluruh Jawa
Barat selama lima tahun terakhir.
Hal-hal tersebut di atas menunjukkan pentingnya pendidikan
untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan reproduksi. Ada pun pendidikan
kesehatan reproduksi di Indonesia umumnya dilakukan dalam bentuk penyuluhan
oleh lembaga-lembaga di luar sekolah, seperti BKKBN dan PKBI. Penyuluhan lebih
banyak dilaksanakan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) daripada Sekolah
Menengah Pertama (SMP), padahal angka partisipasi pelajar SMP di Indonesia
lebih tinggi daripada angka partisipasi SMA. Penelitian menunjukkan bahwa
remaja di negara-negara berkembang sangat membutuhkan pendidikan kesehatan reproduksi. Remaja yang berada di
tingkat awal sekolah menengah mempunyai risiko melakukan hubungan seksual di
luar nikah baik disengaja maupun tidak. Oleh karena itu, masa yang paling tepat
untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi adalah pada tingkat akhir
sekolah dasar. Hal ini juga akan menolong remaja yang tidak dapat melanjutkan
studinya ke sekolah menengah. Selain itu, WHO menekankan pentingnya pendidikan
kesehatan roduksi kepada remaja muda (younger adolescents), yaitu kelompok usia
10 hingga 14 tahun. Usia ini merupakan masa emas untuk terbentuknya landasan
yang kuat tentang kesehatan reproduksi, sehingga dapat mempersiapkan mereka
untuk mengambil keputusan seksual yang lebih aman dan bijaksana dalam hidupnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penelitian dilakukan
untuk mengetahui pengaruh pendidikan, dalam hal ini dengan melakukan
penyuluhan, terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi siswa-siswi
Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang termasuk dalam kelompok usia remaja muda.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pendidikan
kesehatan reproduksi dengan cara penyuluhan kepada remaja untuk
mengatasi
tingginya masalah kesehatan reproduksi di Indonesia, khususnya di Indramayu.
1.2 Permasalahan penelitian
Apakah penyuluhan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi pada remaja siswa SMPN 1 Lohbener ?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi pada remaja siswa SMPN 1 Lohbener.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui
kebutuhan informasi kesehatan reproduksi pada remaja siswa SMPN 1 Lohbener.
2. Mengetahui
perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja siswa sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan.
1.4 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai
pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada
remaja siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Lohbener, memberi informasi
kepada instansi terkait sebagai dasar untukcpengembangan kebijakan mengenai
penyuluhan kesehatan reproduksi pada remaja siswa sekolah menengah pertama, dan
memberi informasi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih
lanjut tentang pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan kesehatan
reproduksi remaja, terkait perilaku seksual dan pengambilan keputusan.
1.5 Keaslian penelitian
Penelitian mengenai pengaruh penyuluhan terhadap tingkat
pengetahuan kesehatan reproduksi remaja siswa sekolah menengah pertama belum
pernah dilakukan di Indramayu.
Adapun
penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan antara lain: Tabel 1. Orisinalitas
penelitian
Nama Peneliti
|
Judul
|
Sampel
|
Hasil
|
Rachma Wardani
|
Pengaruh penyuluhan
terhadap tingkat pengetahuan kesehatan
reproduksi remaja perempuan SMP
Muhammadiyah 7 Surakarta
|
61 siswi (31orang
pada kelompok
kasus dan 30 orang pada kelompok
kontrol)
|
Terdapat pengaruh
pemberian penyuluhan
yang secara statistik
signifikan terhadap
pengetahuan remaja SMP tentang
kesehatan
reproduksi remaja yang
disuluh rata--rata
mendapatkan 1,6 poin
lebih tinggi daripada
remaja yang tidak disuluh
|
Tahiruddin
|
Hubungan pengetahuan
siswa sebelum dan sesudah
diberikan
pendidikan kesehatan
tentang bahaya HIV/AIDS di SMP Eka
Sakti Semarang
|
54 responden
(28 siswa perempuan
dan 26 siswa laki-
laki)
|
Terdapat perubahan
tingkat pengetahuan dari 48,1%
menjadi 87,0%
|
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian kesehatan reproduksi
Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992, kesehatan
adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Batasan yang diambil dari definisi
menurut World Health Organization (WHO) ini lebih luas dan dinamis dibandingkan
batasan sebelumnya yang hanya mencakup tiga aspek yaitu fisik, mental, dan
sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari
kelengkapan fisik, mental, dan sosialnya saja, tetapi juga melalui
produktivitasnya dalam berkegiatan, maupun dalam pekerjaan dan mata
pencahariannya.
Kesehatan reproduksi, menurut Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and
Development) didefinisikan sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan
sosial yang utuh, bukan hanya tiadanya penyakit atau kelemahan, tetapi dalam
segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta
proses-prosesnya. Menurut Mace, Bannerman, dan Burton (1974), kesehatan
reproduksi adalah
kemampuan
untuk mengontrol dan menikmati perilaku seksual dan reproduksi sejalan dengan
etika sosial dan personal; kebebasan dari rasa takut, rasa malu, rasa bersalah,
prasangka dan faktor psikologis lainnya yang menghambat respon seksual dan
menghalangi relasi dengan sesama; kebebasan dari kelainan organik, penyakit,
maupun defisiensi yang berhubungan dengan fungsi reproduksi.
Kesehatan reproduksi menjadi hal yang perlu diperhatikan,
khususnya pada remaja, sebab hal ini dapat menurunkan tingkat kematian dan
kesakitan remaja saat ini, mengurangi beban penyakit di masa yang akan datang,
menumbuhkan remaja menjadi pribadi yang sehat baik pada saat ini maupun di masa
depan, memenuhi hak manusia, dan melindungi produktivitas remaja.
Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan
reproduksi pada remaja. Faktor- faktor tersebut yaitu kepantasan hubungan
seksual di kalangan remaja, cara yang ditempuh untuk mencapai pemenuhan
kebutuhan seksual, cara mengakses jasa serta informasi terkait kesehatan
seksual dan kesehatan reproduksi remaja, derajat tingkat perilaku yang
dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya pengetahuan, pengaruh dari masyarakat dan
budaya yang menyimpang, serta cara mengendalikan kesuburan secara efektif.
2.2 Tumbuh kembang remaja
Pengertian remaja menurut WHO adalah populasi dengan periode
usia 10-19 tahun, sedangkan menurut Kementerian Kesehatan, definisi remaja
dapat ditinjau dari beberapa sudut
pandang.
Secara kronologis, remaja merupakan individu yang berusia 10-19 tahun. Dalam
hal fisik, periode remaja ditandai dengan adanya perubahan ciri-ciri penampilan
dan fungsi fisiologis, terutama yang berhubungan dengan organ reproduksi,
sedangkan dari sisi psikologis, masa remaja merupakan saat individu mengalami
perubahan dalam aspek kognitif, emosi, sosial, dan moral, peralihan masa
kanak-kanak menuju kedewasaan.
Kementerian Kesehatan membagi periode remaja menjadi tiga
bagian, yaitu masa remaja awal (10-13 tahun), masa remaja menengah (14-16
tahun), dan masa remaja akhir (17-19 tahun). Masa remaja awal disebut juga
tahap pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan remaja awal sangat dipengaruhi
oleh faktor dari luar, seperti media massa dan peer group, sehingga remaja awal
dalam keadaan yang kurang stabil memiliki kecenderungan untuk melakukan
penyesuaian diri yang salah dibandingkan dengan remaja yang lebih stabil.
Kestabilan dapat diperoleh melalui bimbingan dan pelatihan dari orang-orang di
sekitarnya, misalnya orang tua dan guru.
Hal yang paling menonjol dalam tumbuh kembang remaja adalah
adanya perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Adanya perubahan hormonal
dalam tubuh remaja menginisiasi perubahan fisik. Beberapa hormon yang berperan
dalam pertumbuhan dan perkembangan adalah
growth
hormone (GH), gonadotropic hormones yang terdiri dari luteinizing hormone (LH)
dan
follicle
stimulating hormone (FSH), serta hormon estrogen, progesteron, dan testosteron.
Perubahan hormonal ini bermanifestasi dengan terjadinya percepatan berat dan
tinggi badan, selama satu tahun pertumbuhan, tinggi badan laki-laki dan
perempuan meningkat sebesar 3,5-
4,1
inci. Selain itu terjadi pula perkembangan karakteristik seks sekunder, yang
pada laki-laki ditandai dengan pertumbuhan penis, pembesaran skrotum, perubahan
suara, pertumbuhan kumis dan rambut wajah serta rambut ketiak, sementara
perubahan pada wanita meliputi partum buhan rambut pubis dan rambut ketiak,
serta terjadinya menarche atau menstruasi pertama. Perubahan bentuk tubuh dan
perkembangan otak juga terjadi pada masa remaja.
Menurut teori Piaget, kemampuan kognitif remaja termasuk
dalam tahap formal operasional, di mana tingkah laku yang ditampilkan oleh
remaja adalah rasa kritis di mana segala hal harus rasional dan jelas,
sehinggga remaja sering mempertanyakan kembali aturan-aturan yang diterimanya,
rasa ingin tahu yang merangsang adanya kebutuhan atau kegelisahan akan sesuatu
yang harus dipecahkan, dan jalan pikiran egosentris yang berkaitan dengan
penentangan
terhadap
pendapat atau pola pikir orang lain yang tidak sejalan dengan pola pikir diri
sendiri. Di samping itu terbentuk pula imagery audience, keadaan di mana remaja
merasa selalu menjadi pusat perhatian orang lain serta personal fables, yaitu
remaja merasa dirinya unik dan berbeda dengan orang lain. Hal ini menyebabkan
kecenderungan terbentuknya konsep diri yang terpengaruh dari luar. Sementara
itu, menurut Erikson (1956), perkembangan psikososial terdiri
atas delapan tahap, dan lima
diantaranya dilalui oleh remaja.
1. Kepercayaan melawan ketidakpercayaan
Tahapan
ini terjadi di awal kehidupan, selama satu hingga dua tahun pertama. Anak belajar untuk percaya pada dirinya
sendiri maupun lingkungannya. Untuk itu, dibutuhkan kualitas interaksi yang
baik, khususnya antara orang tua dan anak.
2. Otonomi melawan keraguan
Bagi
mayoritas remaja, membangun rasa otonomi atau kebebasan merupakan bagian dari transisi
emosional. Selama masa ini, terjadi perubahan ketergantungan, yang awalnya khas
kanak-kanak mengarah kepada otonomi khas dewasa.
3. Inisiatif melawan rasa bersalah
Tahapan
ini berlangsung pada usia pra-sekolah dan awal usia sekolah. Anak cenderung
aktif bertanya untuk memenuhi rasa ingin tahu dan wawasannya dengan cara
bermain aktif, bekerja sama dengan orang lain, dan belajar bertanggung jawab
dengan tingkah lakunya.
4. Kerajinan melawan perasaan rendah
diri
Pada
tahap ini, terjadi persaingan dalam kelompok. Rasa percaya diri anak mulai
terasah, begitu pula dengan kemandiriannya. Anak juga lebih termotivasi untuk
belajar dengan tekun.
5. Identitas melawan kebingungan
identitas
Remaja
berusaha mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab pertanyaan “Siapakah saya?”
dan mengadakan upaya-upaya untuk bertindak baik dan benar sesuai aturan. Di
sisi lain, pada tahapan ini dapat pula terjadi penyimpangan identitas.
Identitas seksual di masa ini juga dibangun.
2.3 Materi kesehatan reproduksi
Pengetahuan
yang komprehensif di perlukan untuk mampu mencapai kesehatan reproduksi yang
optimal. Kesehatan reproduksi mencakup pemahaman tentang organ reproduksi dan
proses yang terjadi di dalamnya, upaya memelihara kesehatan reproduksi, hal
pubertas (menstruasi dan mimpi basah) dan seksualitas, kehamilan dan aborsi,
serta penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Berikut ini akan dibahas beberapa materi yang berkaitan
dengan pengetahuan kesehatan reproduksi, khususnya pada remaja.
2.3.1.Anatomi dan fisiologi organ
reproduksi
Hal yang perlu dipahami oleh remaja adalah bahwa pria dan
wanita memiliki organ reproduksi yang berbeda, baik dalam hal struktur maupun
pada fungsinya. Alat reproduksi pria terdiri dari testis dan penis, sedangkan
pada wanita terdiri atas ovarium, uterus, dan vagina. Berikut ini penjelasan
fungsi tiap organ reproduksi yang dapat dijelaskan kepada remaja:
a. Testis
Pria memiliki dua buah testis yang
terbungkus oleh lapisan yang disebut skrotum. Testis adalah organ penghasil
sel-sel sperma pada tubuh pria. Organ ini juga merupakan tempat sekresi hormon
testosteron.
b. Penis
Penis adalah alat reproduksi pria
yang berfungsi sebagai saluran cairan mani. Saluran yang ada pada struktur
penis disebut juga uretra. Uretra tidak hanya berfungsi mengalirkan cairan
mani, tetapi juga untuk mengalirkan urin saat berkemih.
c. Ovarium
Setiap wanita memiliki satu pasang
ovarium. Ovarium atau disebut juga indung telur adalah organ reproduksi wanita
yang berperan sebagai tempat pembentukan dan pematangan sel telur atau ovum.
Ovarium juga mengeluarkan hormon estrogen dan progesteron.
d. Uterus
Uterus atau rahim adalah tempat
menempelnya sel telur yang sudah matang dan bertemu dengan sperma, yang
kemudian akan bertumbuh menjadi janin. Apabila sedang tidak terjadi pembuahan,
dinding rahim bagian dalam (endometrium) akan meluruh dan mengelupas, dan
proses ini disebut dengan menstruasi
atau datang bulan.
e. Vagina
Vagina adalah saluran yang
menghubungkan uterus dengan alat reproduksi bagian luar.
2.3.2. Cara memelihara kesehatan
organ reproduksi
Pada wanita, cara memelihara kesehatan organ reproduksi yang
dianjurkan adalah dengan tidak memasukkan benda-benda asing ke dalam vagina,
menggunakan celana dalam yang bahannya menyerap keringat dengan baik, tidak
menggunakan celana yang terlalu ketat, dan tidak berlebihan dalam menggunakan
pembilas vagina.
Penetrasi benda asing dalam vagina dapat menyebabkan
peradangan atau masuknya kuman-kuman yang mengganggu metabolisme tubuh.
Penggunaan celana dalam yang tidak ketat dan mudah menyerap keringat merupakan
hal yang penting, sebab hal ini dapat menghindarkan vagina dari kondisi yang
terlalu lembab, yang mudah menyebabkan tumbuhnya jamur. Selain itu, penggunaan
cairan antiseptik pembilas vagina juga tidak disarankan, karena penggunaan yang
tidak sesuai aturan akan menyebabkan bakteri normal pada vagina terbunuh dan
memudahkan
kuman
patogen dalam menyerang saluran reproduksi tersebut.
Saat sedang membersihkan saluran kemih dan saluran
pencernaan (anus), perlu diperhatikan bahwa arah yang benar adalah dari depan
ke belakang, sehingga menghindari kuman dari saluran cerna masuk ke dalam
saluran kemih. Air yang digunakan juga diusahakan sebersih mungkin.
Pada pria, prinsip pemeliharaan kesehatan reproduksi umumnya
sama dengan wanita, tetapi yang penting adalah perlunya melakukan sunat, untuk
mencegah penumpukan kotoran pada lipatan luar penis (smegma) sehingga alat
kelamin menjadi lebih bersih. Glans penis harus
selalu
dibersihkan dari sisa urin setiap selesai berkemih. Baik pria maupun wanita
perlu rajin mencukur bulu pubis (rambut kemaluan) masing-masing, untuk
menghindari terjadinya pertumbuhan kutu ataupun jamur yang menimbulkan rasa
gatal dan tidak nyaman.
2.3.3. Pubertas
Pubertas adalah masa peralihan dari kanak-kanak menuju
remaja, yang terjadi karena adanya aktivasi hormon gonadotropin pada hipofisis,
an juga hormon steroid terkait seks, yang menimbulkan perubahan dan
karakteristik seksual pada manusia, secara primer dan sekunder. Pada populasi
sehat, pubertas wanita dimulai usia 10-13 tahun dan berakhir di usia rata-rata
16 tahun, sedangkan pada pria dimulai usia 12-15 tahun dan berakhir di usia 18
tahun. Massa tulang yang tertinggi dicapai pada usia awal 20-an.
Maturitas
seksual dikelompokkan dengan menggunakan skala visual Tanner. Pada wanita terdapat
dua kategori yang masing-masing terdiri dari lima tahapan, yaitu bentuk
payudara (B1-
B5)
dan distribusi rambut pubis (P1-P5), di mana tahap 1 menggambarkan kondisi
prapubertas dan tahap 5 menunjukkan ukuran dan bentuk dewasa. Skala Tanner pada
pria menggunakan kategori perubahan ukuran dan bentuk organ genitalia testis
serta penis (G1-G5) dan pertumbuhan rambut pubis (P1-P5).
Karakteristik primer merupakan ciri-ciri tubuh yang terlibat
langsung pada fungsi dan proses reproduksi, sedangkan karakteristik seks
sekunder adalah ciri-ciri tubuh yang tidak berhubungan langsung pada fungsi
reproduksi, tetapi umumnya terlibat secara signifikan pada fungsi seksualitas.
Karakteristik primer ditandai dengan terjadinya menstruasi yang diawali
menarche pada wanita, dan terjadinya pematangan sel spermatozoa yang ditandai
spermarche atau mimpi basah pada pria. Karakteristik sekunder pada wanita
meliputi: peningkatan tinggi badan terutama pada ekstremitas 14, pertumbuhan
rambut di sekitar daerah pubis dan ketiak, kulit tubuh yang mengalami
penghalusan, peninggian nada suara, pembesaran payudara, serta feminisasi
bentuk tubuh padapinggul, pinggang, dan paha.
Sedangkan pada pria, karakteristik sekunder ditandai dengan tumbuhnya
rambut pada sekitar pubis, kaki, tangan, dada, ketiak, dan wajah, perubahan
suara menjadi besar dan rendah, penonjolan otot-otot tubuh, terutama di daerah
bahu dan dada, peningkatan tinggi dan berat badan, dan pembesaran testis.
Pada masa pubertas, terdapat berbagai perubahan biologis
baik pada laki-laki maupun perempuan. Menstruasi atau haid adalah proses
perdarahan yang teratur, periodik, dan siklik dari uterus, yang disertai dengan
pelepasan endometrium. Perdarahan yang pertama kali dialami seorang wanita
disebut menarche, dan umunya terjadi sejak usia 10-13 tahun, dengan rata-rata
12,8 tahun.
Siklus haid berputar selama kurang lebih 28 hari, di mana
total siklus dihitung dari jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu hingga
mulai haid yang berikutnya. Terdapat beberapa fase dalam siklus haid tersebut,
yaitu:
a. Fase menstruasi
Fase
ini berlangsung selama 2 hingga 6 hari, dan pada saat ini endometrium lepas dan
meluruh sehingga timbul perdarahan.
b. Fase proliferasi
Tahapan
ini dimulai setelah perdarahan berakhir, dan berlangsung hingga saat ovulasi.
Fase ini berguna untuk menumbuhkan endometrium agar siap menerima ovum yang
dibuahi. Bersamaan dengan fase ini, terjadi pematangan folikel sel telur di
ovarium.
c. Fase sekresi
Fase
ini merupakan kelanjutan dari fase proliferasi. Selama 11-13 hari, terbentuk
korpus luteum dan juga penebalan kelenjar endometrium. Apabila tidak terjadi
pembuahan pada sel telur yang matang, maka korpus luteum tidak lagi berkembang,
dan tingginya hormon estradiol serta progesteron menyebabkan penyempitan
pembuluh darah di uterus, dan terjadi iskemi endometrium yang berujung dengan
lepasnya kembali endometrium.
Pada fase haid, perawatan juga perlu dilakukan, sebab pada
tahapan ini mudah terjadi infeksi pada organ reproduksi. Kebersihan harus
dijaga karena kuman lebih mudah masuk dan dapat menimbulkan penyakit pada
saluran reproduksi. Pembalut perlu diganti secara berkala apabila telah penuh
atau terasa tidak nyaman.
Pada pria, fase pubertas salah satunya ditandai dengan
terjadinya pengeluaran sel spermatozoa pertama kali pada spesimen urin pagi
hari. Hal ini dikenal sebagai spermarche, atau dalam bahasa sehari-hari disebut
mimpi basah. Spermarche terjadi pada rata-rata usia 13,4 tahun.
Selanjutnya,
adanya sperma pada urin yang disebut spermaturia berlangsung selama beberapa
waktu pada masa awal pubertas, sedangkan pada masa remaja tengah dan akhir,
keluarnya sperma yang tidak menyertai urin disebut sebagai ejakulasi.
2.3.4.Kehamilan dan aborsi
Kehamilan merupakan hal yang dinantikan oleh setiap wanita
yang telah menikah dan menginginkan keturunan, tetapi dapat menjadi suatu
masalah apabila terjadi pada wanita, khususnya remaja yang belum menikah. Menurut
data yang ada pada WHO, di Indonesia terdapat 10 hingga 20 persen wanita yang
hamil sebelum usia 18 tahun, dan 10 hingga 16 persen di antaranya tidak
direncanakan. Kehamilan yang tidak direncanakan umunya juga merupakan kehamilan
yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy). Banyak faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Usia menstruasi yang
semakin dini dengan usia kawin yang semakin tinggi menyebabkan masa yang rawan
untuk terjadinya perilaku seksual yang cenderung negatif. Hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya kasus kehamilan remaja di luar nikah.Kurangnya pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi, khususnya tentang perilaku seksual yang dapat
menyebabkan kehamilan, tidak menggunakan maupun kegagalan penggunaan alat
kontrasepsi karena tidak mengetahui metode yang benar, dan kehamilan akibat
pemerkosaan oleh pasangan kencannya (date rape) merupakan beberapa faktor
lainnya yang mengakibatkan kehamilan
yang tidak diinginkan.
Kehamilan remaja dapat menimbulkan risiko yang tinggi karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang pertama, uterus belum siap untuk
mendukung proses kehamilan. Pada tubuh wanita, ukuran uterus berubah sejalan
dengan umur dan perkembangan hormonalnya. Pada saat bayi hingga usia kurang
dari 8 tahun, perbandingan antara panjang korpus uteri dengan serviks adalah
1:2. Ukuran korpus uteri akan bertambah hingga usia anak 14 tahun, pada masa ini
panjang korpus uteri akan kurang lebih sama dengan panjang serviks. Pada wanita
dewasa (18-19 tahun), perbandingannya menjadi 2:1. Hal ini menyebabkan uterus
menjadi tidak stabil apabila harus menampung janin saat usia belum mencapai 18
tahun. Selain itu, sistem hormonal yang mengatur reproduksi belum terkoordinasi
dengan lancar. Pada usia 14-19 tahun, sistem hormonal belum stabil. Di masa
ini, hormon gonadotropin baru mulai bekerja dalam proses pematangan ovarium dan
uterus. Apabila telah terjadi pembuahan pada saat demikian, hal ini akan
meningkatkan risiko pada kehamilan seperti terjadinya perdarahan, persalinan
prematur, bahkan abortus. Selain itu, usia kehamilan yang terlalu dini dapat
memperpanjang rentang usia
reproduksi
aktif. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks di kemudian hari.
Dan selanjutnya, kematangan psikologis untuk menghadapi proses persalinan dan
untuk selanjutnya mengasuh anak umumnya belum dicapai oleh remaja.
Terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak
diinginkan meningkatkan risiko pengambilan keputusan aborsi pada remaja.
Istilah aborsi dipakai untuk menjelaskan pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Aborsi buatan adalah pengakhiran kehamilan
sebelum 20 minggu akibat tindakan. Diperkirakan 2,2 hingga 4 juta remaja wanita
di dunia melakukan aborsi setiap tahunnya. Kelompok remaja menduduki 14% dari
total kasus aborsi yang tidak aman, karena kurangnya akses aborsi yang aman dan
legal, yang dilakukan oleh oknum yang kurang memiliki keterampilan dan kurang
memiliki standar medis minimal. Di Indonesia, abortus provocatusatau aborsi
buatan masih dilarang dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 346, sebab aborsi dianggap sama dengan mematikan insan yang hidup. Adapun
aborsi dapat memicu risiko keselamatan dan kesehatan fisik, serta risiko
psikologis. Risiko keselamatan dan kesehatan fisik antara lainkematian karena
perdarahan, perforasi uterus, sepsis, kelainan plasenta, kerusakan serviks, dan
peningkatan risiko terjadinya kanker payudara dan kanker ovarium. Sedangkan risiko
psikologis meliputi perasaan depresi akibat penyesalan, dan sindrom pasca
aborsi yang meliputi mimpi buruk, percobaan bunuh diri, histeria,
penyalahgunaan obat-obatan, dan rasa kehilangan harga diri. Untuk itulah, sebelum terjadi kehamilan tidak
diinginkan yang berujung pada aborsi, perlu dilakukan upaya pencegahan, dan
juga perawatan untuk para remaja wanita yang telah mengalami hal demikian.
2.3.5 Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS
Penyakit Menular Seksual atau PMS adalah penyakit infeksi
yang ditularkan melalui hubungan seksual. Beberapa penyakit yang banyak
ditemukan di Indonesia yaitu:
1. Gonore
Penyakit
gonore disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrheae. Pada pria, gejala meliputi
rasa nyeri saat berkemih (disuria), keluarnya sekret kuning kehijauan, dan
pembengkakan pada penis, sedangkan pada wanita, 60% kasusnya tidak ada gejala,
dan sisanya mengalami gejala seperti keputihan dan rasa nyeri di daerah pelvis.
2. Sifilis
Penyakit
yang dikenal dengan sebutan raja singa ini disebabkan oleh infeksi Treponema
pallidum. Masa inkubasi berkisar 2-6 minggu, dan dapat mencapai 13 minggu
setelah masuknya kuman melalui hubungan seks. Gejala pada tahap infeksi primer
umumnya ringan, hanya berupa benjolan yang tidak nyeri dan gejala seperti flu
yang hilang tanpa diobati. Gejala sekunder disebut pula masa laten, pada saat
ini hanya ditemukan bercak-bercak kemerahan di tubuh. Masa laten dapat
berlangsung 2 hingga 3 tahun. Selanjutnya gejala tersier akan muncul pada tahun
kelima hingga kesepuluh, yang bermanifestasi sebagai kelainan saraf, pembuluh
darah, dan jantung.
3. Herpes genitalis
Infeksi
virus Herpes simplex menyebabkan penyakit ini. Gejala yang ditimbulkan adalah
munculnya bintil-bintil berair dan berkelompok yang nyeri di sekitar alat
kelamin, dan kemudian dapat pecah, mengering dan menghilang. Bintil-bintil ini
dapat kambuh kembali apabila ada faktor pencetus, dan umumnya akan hilang
timbul seumur hidup.
4. HIV/AIDS
HIV
atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia. Virus ini menyerang leukosit, terutama pada sel CD4 yang
merupakan bagian dari sel limfosit T. Fase akhir dari infeksi HIV disebut AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome), yang merupakan kumpulan penyakit yang
timbul karena kekebalan tubuh yang sangat rendah, seperti tuberkulosis,
pneumonia, dan infeksi jamur sistemik. Virus ini menular melalui cairan tubuh,
yaitu darah, sperma, dan air susu ibu. Jalur transmisi HIV adalah melalui
hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi, penggunaan jarum suntik yang
tidak steril dan berganti-gantian pada penyalahguna narkotika dan obat-obatan
terlarang, transfusi darah dari orang yang terinfeksi, serta transmisi ibu ke
anak melalui plasenta (in utero), jalan lahir, maupun air susu ibu.Manifestasi
klinis dari infeksi HIV secara garis besar dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1. Sindrom HIV (retroviral) akut
Fase
ini dialami 50-70% penderita yang terinfeksi virus HIV. Sindrom akut terjadi
pada 3-6 minggu setelah virus masuk, dan gejalanya meliputi demam, faringitis,
atralgia, myalgia, limfadenopati, ruam makulopapuler, ulkus di mukokutan, mual,
muntah, diare, dan meningitis aseptik. Gejala-gejala ini akan hilang setelah 1
hingga 2 minggu seiring dengan terbentuknya respon imun terhadap HIV. Mayoritas
penderita kemudian akan memasuki fase laten klinis, dan hanya sedikit yang
langsung mengalami gejala klinis progresif.
2. Infeksi asimptomatik
Rentang
waktu antara terjadinya infeksi dengan perkembangannya menjadi AIDS bervariasi,
tetapi rata-rata berkisar 10 tahun. Pada fase ini umumnya terjadi replikasi
virus yang aktif dan penurunan jumlah total sel CD4.
3. Fase simptomatik
Gejala
yang disebabkan oleh virus HIV dapat timbul kapan saja setelah seseorang terinfeksi.
Umumnya, spektrum gejala AIDS akan berubah seiring dengan menurunnya CD4.
Komplikasi yang lebih parah dan mengancam nyawa pada penderita AIDS umumnya
terjadi pada saat jumlah sel CD4 kurang dari 200/μl. Kurang lebih 60 persen
kematian pada penderita AIDS disebabkan oleh infeksi selain HIV, seperti
infeksi bakteri dan jamur. Kunci dari terapi AIDS baik infeksi primer maupun
sekunder adalah dengan mengupayakan kontrol terhadap replikasi virus
menggunakan obat-obatan antiretroviral, dan juga profilaksis apabila
diindikasikan.
Sindrom utama yang muncul pada AIDS
yaitu limfadenopati generalisata persisten dam gejala konstitusional seperti diare,
demam, dan penurunan berat badan tanpa sebab. Selain itu dapat timbul pula
penyakit saraf seperti ensefalopati HIV (demensia), limfoma sistem saraf pusat,
meningitis aseptik, mielopati, neuropati perifer, dan miopati. Penyakit infeksi
sekunder yang sering dialami penderita AIDS adalah pneumonia Pneumocystis
carinii, CMV, Candida albicans,Toxoplasma gondii. Selain itu sering timbul neoplasma sekunder
sepertisarkoma Kaposi dan neoplasma limfoid.
2.4 Pengetahuan kesehatan reproduksi
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu hal. Terdapat beberapa tahapan
dalam pengetahuan kognitif, yaitu:
a. Tahu (know), adalah pengingatan
materi yang telah dipelajari dalam bentuk mengulangi definisi, atau mengingat
kembali (recalling). Tahu merupakan tingkat pengetahuan paling rendah.
b. Memahami (comprehension), merupakan
kemampuan untuk menjelaskan sebuah objek dengan baik dan benar, dengan bentuk
interpretasi maupun kesimpulan.
c. Aplikasi (application), adalah
kemampuan untuk menerapkan hal yang telah dipelajari ke dalam situasi nyata
atau kasus tertentu.
d. Analisis (analysis), diartikan
sebagai kemampuan untuk menjelaskan suatu objek ke dalam komponen tertentu yang
saling berkaitan.
e. Sintesis (synthesis), merupakan
kemampuan untuk menghubungkan materi-materi yang telah dipelajari ke dalam
bentuk atau formulasi yang baru.
f. Evaluasi (evaluation), adalah
kemampuan menilai dan memeriksa objek yang telah didapatkan dengan berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu.
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
pengetahuan, khususnya tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Usia
Semakin
bertambah usia seseorang, diasumsikan bertambah pula pengetahuannya seiring
dengan bertambahnya pengalaman dan kematangan diri. Sebuah penelitian di India
menunjukkan bahwa terjadinya pernikahan dini di usia kurang dari 18 tahun
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan yang dibutuhkan tentang kesehatan
reproduksi.
2. Tingkat pendidikan
Pendidikan
yang baik akan meningkatkan pengetahuan, dan juga memudahkan seseorang untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih tinggi. Pendidikan dalam hal ini dapat
diperoleh secara formal maupun non formal. Pendidikan non formal didapatkan
dari keluarga, organisasi, dan masyarakat, sedangkan pendidikan formal
diperoleh di sekolah. Pendidikan di sekolah menjadi faktor protektif terhadap
inisiasi seksual dini, pernikahan dini, dan juga kehamilan usia muda di banyak
negara di dunia. Di sisi lain, pendidikan non formal yang diperoleh melalui
informasi dan komunikasi dengan orang tua juga berpengaruh terhadap pengetahuan
kesehatan reproduksi pada remaja. Orang tua yang berpendidikan tinggi dapat
menyampaikan informasi tentang konsekuensi negatif hubungan seks sebelum
menikah dengan lebih baik dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan
lebih rendah.
3. Sosial dan ekonomi
Kondisi
sosial dan ekonomi seseorang mempunyai peran dalam meningkatkan kesempatannya
untuk memperoleh pengetahuan. Remaja putri dengan status sosial dan ekonomi
yang rendah cenderung pernah melakukan seks sebelum menikah dibandingkan dengan
remaja yang berstatus sosial dan ekonomi lebih tinggi.
4. Lingkungan pergaulan atau kelompok
sebaya (peer group)
Pengaruh
kelompok sebaya pada remaja dapat tercermin dalam sikap, pembicaraan, dan
perilaku seseorang. Adanya dukungan dari pergaulan akan memperbesar kesempatan
remaja untuk mempelajari pola-pola perilaku dan dengan demikian meningkatkan
pengetahuan. Meskipun tidak selalu memberikan dampak yang positif, pergaulan
dengan kelompok sebaya juga merupakan faktor protektif terhadap inisiasi
seksual usia dini.
5. Paparan informasi
Paparan
informasi mempengaruhi tingkat pengetahuan remaja dalam berbagai hal, termasuk
tentang kesehatan reproduksi. Informasi yang didapatkan remaja dapat diperoleh
melalui bermacam-macam sumber, seperti media massa, konseling, penyuluhan, dan
internet.
2.5 Penyuluhan kesehatan reproduksi
Kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal
(dari dalam diri manusia) maupun eksternal (dari luar manusia). Faktor-faktor
ini oleh HL Blum dikelompokkan menjadi empat bagian, yang menurut besar
pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu:
1. Lingkungan, secara fisik, sosial,
budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain
2. Perilaku
3. Pelayanan kesehatan
4. Keturunan (herediter)
Untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, perlu dilakukan
kegiatan yang disebut upaya kesehatan. Upaya kesehatan dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat, baik secara individu, kelompok, maupun juga di
lembaga pemerintahan atau swadaya masyarakat. Upaya kesehatan dilakukan dengan
cara kuratif (pengobatan penyakit), rehabilitatif (pemulihan kesehatan setelah
mengalami keadaan sakit), preventif (pencegahan terhadap penyakit) dan promotif
(peningkatan kondisi kesehatan secara optimal). Untuk melakukan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan, intervensi atau upaya kesehatan tersebut harus diarahkan
kepada keempat faktor yang ada.
Intervensi dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti perbaikan gizi, pembangunan sarana dan
fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan sanitasi lingkungan, pendidikan
kesehatan, dan lain-lain. Secara garis besar, terdapat dua jenis upaya
intervensi terhadap faktor perilaku. Yang pertama adalah tekanan (enforcement),
yaitu intervensi dengan pembentukan aturan, undang-undang, atau tata cara yang
memaksa seseorang atau masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan ketetapan.
Umumnya perilaku yang
tercipta
melalui intervensi ini sifatnya tidak permanen, karena tidak didasari oleh
kesadaran yang tinggi dari masyarakat. Cara kedua adalah dengan edukasi, yaitu
intervensi yang lebih persuasif, memberikan informasi, mengajak, dan
menghimbau. Untuk dapat menimbulkan perubahan perilaku dengan upaya ini memang
dibutuhkan lebih banyak waktu dibandingkan dengan cara tekanan, tetapi perilaku
yang tercipta akan lebih mampu dipertahankan oleh masyarakat yang menerimanya.
Pendidikan kesehatan adalah bentuk intervensi yang terutama terhadap faktor
perilaku.
Pendidikan secara umum adalah segala usaha yang direncanakan
untuk mempengaruhi orang lain, baik secara individu, kelompok, maupun
masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. Unsur-unsur dalam pendidikan meliputi input yang merupakan sasaran
pendidikan dan para pendidik, proses yang direncanakan untuk mempengaruhi orang
lain, dan output dalam bentuk perilaku.
Pendidikan kesehatan adalah upaya atau kegiatan untuk
menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Pendidikan
kesehatan mengusahakan masyarakat menyadari dan mengetahui bagaimana cara
memelihara kesehatan mereka, menghindari dan mencegah hal-hal yang merugikan
kesehatan, dan sebagainya. Hal ini disebut dengan ‘melek kesehatan’ (health
literacy). Selanjutnya, kesadaran masyarakat tersebut berlanjut hingga mencapai
perilaku kesehatan (healthy behaviour). Ini berarti kesehatan tidak hanya untuk
diketahui dan disadari, tetapi juga untuk dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari (healthy lifestyle).
Hasil yang diharapkan dari pendidikan kesehatan adalah
adanya perubahan perilaku. Terdapat beberapa dimensi dalam perubahan perilaku,
yaitu:
1. Perubahan perilaku, dari perilaku
yang tidak sehat menjadi perilaku yang sesuai dengan nilai kesehatan.
2. Pembinaan perilaku, ditujukan pada
perilaku masyarakat yang telah baik untuk dipertahankan dan terus dilanjutkan.
3. Pengembangan perilaku, umumnya untuk
anak-anak, bertujuan untuk membiasakan perilaku sehat sejak dini.
Penyuluhan merupakan salah satu contoh cara pendidikan
kesehatan. Menurut Notoatmodjo, penyuluhan termasuk dalam bentuk pendidikan
kesehatan dalam faktor-faktor predisposisi, yang bertujuan menggugah kesadaran,
memberikan atau meningkatkan pengetahuan masyarakat. Dalam Undang-undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 38 ayat 1,
tertulis bahwa “Penyuluhan kesehatan masyarakat merupakan kegiatan yang melekat
pada setiap kegiatan upaya kesehatan. Penyuluhan kesehatan masyarakat
diselenggarakan
untuk mengubah perilaku seseorang atau kelompok masyarakat agar hidup sehat
melalui komunikasi, informasi, dan edukasi.” Dalam penjelasan atas ayat
tersebut dikemukakan bahwa penyuluhan kesehatan masyarakat diselenggarakan guna
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk
hidup sehat, dan aktif berperan serta dalam upaya kesehatan. Melihat penjelasan
di atas, jelas bahwa hal-hal yang perlu ada dalam sebuah penyuluhan adalah
komunikasi, informasi, dan edukasi.
Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan dalam
bentuk verbal atau nonverbal, untuk mempengaruhi perilaku orang lain.
Komunikasi verbal merupakan proses komunikasi yang menggunakan bahasa lisan
maupun tulisan, sedangkan komunikasi yang menggunakan simbol-simbol disebut
komunikasi nonverbal. Untuk mencapai komunikasi yang efektif, perlu dipenuhi
beberapa unsur, yaitu komunikator atau penyampai pesan, komunikan atau penerima
pesan, pesan itu sendiri, dan juga media penyalur pesan.
Komunikasi kesehatan didefinisikan sebagai strategi untuk
menginformasikan dan mempengaruhi keputusan individu dan komunitas yang
meningkatkan kesehatan. Komunikasi kesehatan memiliki banyak manfaat, yaitu
dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu kesehatan, meningkatkan pengetahuan,
mempengaruhi sikap hidup masyarakat, mempengaruhi persepsi tentang kemampuan
seseorang untuk melakukan suatu perilaku, memperagakan suatu keterampilan
sederhana, memotivasi untuk bertindak, meningkatkan permintaan dan dukungan
terhadap layanan kesehatan, memperkuat perilaku yang sudah ada, dan membangun norma
sosial. Keterbatasan dari komunikasi kesehatan adalah hal ini kurang dapat
menyebabkan perubahan perilaku yang bertahan, sebab diperlukan komponen lainnya
seperti pelayanan medis atau perubahan kebijakan untuk membuat perilaku yang
menetap.
Informasi atau pesan adalah salah satu unsur dari proses
komunikasi. Untuk dapat menyampaikan informasi, diperlukan metode dan media
yang tepat. Metode yang digunakan pada pendidikan kesehatan perlu disesuaikan
dengan sasarannya. Sebagai contoh, apabila sasaran
penerima
informasi adalah remaja, maka metode yang diterapkan harus tepat dengan
kebutuhan dan usia remaja tersebut. Apabila sasaran yang dituju adalah
perorangan, metode yang digunakan
juga
tidak sama dengan sasaran kelompok atau umum. Metode didefinisikan sebagai
pendekatan atau prosedur sistematis yang secara khusus dijalankan atau
dilaksanakan oleh pengajar, penyaji, dan pembicara untuk menyampaikan
informasi, pandangan objektif, dan materi pelajaran. Metode akan menentukan
seberapa baik suatu informasi dapat diterima dan diingat. Berikut ini beberapa
contoh metode pendidikan:
1. Metode pendidikan individual
(perorangan)
Metode
individual digunakan untuk pembinaan perilaku baru, seperti pada ibu yang akan
mulai mengggunakan kontrasepsi, pria yang ingin berhenti merokok, dan ibu
hamil. Bentuk pendekatan yang dapat dilakukan dalam metode ini meliputi
bimbingan dan konseling, serta wawancara.
2. Metode pendidikan kelompok
Dalam
menentukan metode untuk kelompok, terdapat beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan, seperti jumlah orang dalam kelompok, tingkat pendidikan, usia,
dan latar belakang kelompok. Kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari
15 orang atau lebih. Metode yang dapat diterapkan pada kelompok besar meliputi:
a. Ceramah
Merupakan
metode yang baik untuk semua jenis tingkat pendidikan. Hal yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan metode ini yaitu penceramah harus menguasai
seluruh materi yang akan disampaikan. Dengan demikian, diperlukan persiapan
yang matang seperti makalah, bahan presentasi, dan alat bantu.
b. Seminar
Seminar
lebih ditujukan pada peserta dengan tingkat pendidikan menengah ke atas, sebab
seminar merupakan sebuah bentuk presentasi tentang topik tertentu oleh ahli di
bidangnya. Sementara itu, dalam kelompok kecil yang kurang dari 15orang,
terdapat beberapa metode yang dapat diaplikasikan, yaitu diskusi kelompok,
curah pendapat (brainstorming), bola salju (snowballing), kelompok-kelompok
kecil (buzz group), bermain peran (role play), atau permainan simulasi
(simulation game).
Dalam menentukan metode yang akan dipilih, perlu adanya
pengenalan hubungan antara
sasaran,
materi, dan metode. Sasaran menggambarkan tujuan khusus yang harus dicapai.
Materi mencerminkan informasi yang akan disampaikan kepada peserta agar tujuan
khusus dapat tercapai, sedangkan metode akan menjadi strategi yang menentukan
dalam menyampaikan materi, dan membantu peserta dalam mencapai tujuan
khususnya. Pendidik kesehatan disarankan untuk memilih metode yang dapat
meningkatkan keberagaman program, sebab penggunaanmetode tunggal sepanjang
kegiatan diperkirakan akan menurunkan tingkat perhatian peserta.
Tabel 2: Perbandingan jenis metode
presentasi
Metode
Presentasi
|
Fokus
|
Karakteristik
|
Audiovisual
|
Kaset, slide,Infokus, poster,
peraga, buku, video
|
Efektif untuk berbagai tingkat
intelegensi (bersifat Multiple
Intelligence/MI)
|
Curah
pendapat
|
Partisipasi kelompok, lahirnya ide
dengan lebih cepat
|
Menghindari diskusi panjang,
mengupayakan keterlibatan
menyeluruh
|
Studi
kasus
|
Pengkajian dan kritik
terhadap fakta-fakta
|
Membantu proses berpikir
secara analitik
|
Debat
|
Pengkajian dua sisi (positif dan negatif)
dari sebuah masalah
|
Berfungsi paling baik dengan
struktur
|
Peragaan
|
Memberikan penyajian visual
keterampilan
|
Membantu peserta dengan
karakter visual, keterampilan
|
Bermain peran (role play)
|
Peserta bertindak berdasarkan
skenario
|
Bersifat sukarela dan
membutuhkan proses
|
Diskusi kelompok kecil
|
Peserta membahas masalah
sebelum atau setelah
penyampaian bahan atau untuk
didiskusikan di kelompok besar
|
Memiliki arah yang jelas,
membutuhkan pengawasan
untuk membantu dalam
mempertahankan fokus
|
Diskusi kelompok besar
|
Sebagai tindak lanjut dari
penyampaian materi atau evaluasi
hasil diskusi kelompok kecil
|
Memungkinkan lontaran
pertanyaan, dapat menjadi
peluang untuk menilai hasil
belajar
|
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa jenis metode
presentasi yang tepat untuk diberikan sebagai penyuluhan kepada siswa sekolah
menengah pertama adalah metode audiovisual dan diskusi kelompok, baik diskusi
kelompok besar maupun diskusi kelompok kecil.
Para
remaja memerlukan informasi yang tepat mengenai fungsi tubuhnya masing-masing, perkembangan
seksualnya, dan juga cara untuk menghindari kehamilan tidak diinginkan pada
remaja wanita. Selain itu, mereka juga memerlukan pengetahuan tentang penyakit
menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, dan tentang cara-cara pencegahannya.
Mereka perlu mengetahui hal-hal ini sebelum memasuki masa yang rawan terhadap
terjadinya aktivitas seksual
di
masa mendatang. Dahulu sering dikatakan bahwa hal ini merupakan tugas orang
tua, tetapi banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua jarang
berbicara tentang kesehatan reproduksi pada anaknya, sebab mereka merasa
bingung dalam menyampaikannya, kurang pengetahuan yang mendalam, dan merasa
malu untuk membicarakannya.
Di negara-negara maju, pendidikan kesehatan reproduksi
termasuk dalam kurikulum sekolah dasar atau sekolah menengah. Meskipun
demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pendidikan yang ada kurang
berhasil apabila dilakukan pada kisaran usia yang telah mulai melakukan
hubungan seksual pertama, dan tidak didukung oleh pelayanan kesehatan
reproduksi yang memadai, seperti pengadaan kontrasepsi. Tetapi, karena sasaran
belajar pada pendidikan kesehatan reproduksi di negara-negara maju pada umumnya
adalah terwujudnya abstinensia, penggunaan kontrasepsi tidak menjadi pertimbangan
yang diperhitungkan.
Hal sebaliknya terjadi pada negara-negara berkembang. Remaja
pada negara berkembang sangat membutuhkan pengetahuan yang benar tentang
kesehatan reproduksi, sebab mayoritas negara berkembang termasuk Indonesia
belum memiliki kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi dalam sekolah dasar
maupun sekolah menengah. Banyak faktor yang menghambat adanya pendidikan
kesehatan reproduksi di Indonesia, seperti bertahannya prinsip bahwa
pengetahuan tentang reproduksi dan hal yang berkaitan, seperti kontrasepsi,
akan memicu timbulnya perilaku amoral pada peserta didik, dan masih kuatnya
pengaruh tokoh-tokoh sosial dan agama yang pada satu sisi menganggap media dan
buku yang menjadi sarana pendidikan reproduksi sebagai bentuk pornografi. Untuk
mengatasi masalah ini, diperlukan keterlibatan tenaga kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja seiring dengan anjuran
untuk tetap melakukan abstinensia sebelum menikah, dengan menjelaskan bahaya
dan ri
siko
yang ada apabila melakukan hal yang sebaliknya.
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP,
& HIPOTESIS
3.1 Kerangka teori
Berdasarkan
uraian dalam tinjauan pustaka, disusun kerangka teori sebagai berikut:
|
|
||||||||||
|
||||||||||
|
||||||||||
|
3.2 Kerangka konsep
Dari kerangka teori di atas, diketahui adanya beberapa
faktor yang mempengaruhi tingkatpengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja.
Karena keterbatasan penelitian, variabel kondisi sosial dan ekonomi tidak
diteliti. Variabel usia dan tingkat pendidikan dicari dalam Range yang sama,
sedangkan variabel lingkungan pergaulan/kelompok sebaya dianggap sebagai
variabel perancu. Variabel paparan informasi yang berupa penyuluhan adalah
variabel bebas, sedangkan paparan informasi sebelumnya seperti media massa dan
internet serta konseling guru –siswa dianggap sebagai variabel perancu.
Variabel perancu tersebut besarnya dapat dianalisis dari hasil pretest.
Gambar 2: Kerangka konsep
|
|
||||||||||
3.3 Hipotesis
Penyuluhan
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja siswa
Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1 Lohbener.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Ruang lingkup penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini
meliputi bidang ilmu Obstetri dan Ginekologi.
4.2Tempat dan waktu penelitian
Penelitian
dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1 Lohbener, pada bulan
Mei.– Juni 2014.
4.3 Jenis dan rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan
quasi-experimental one group pretest-posttest design.
4.4 Populasi dan sampel
4.4.1 Populasi target
Populasi target adalah seluruh siswa
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indramayu.
4.4.2 Populasi terjangkau
Populasi
terjangkau adalah siswa kelas II Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1
Lohbener.
4.4.3Sampel
4.4.3.1 Kriteria inklusi:
-Siswa
duduk di kelas II
-Bersedia mengikuti penelitian yang
dibuktikan dengan penandatanganan lembar informed consent
4.4.3.2 Kriteria eksklusi:
-Sudah
pernah mendapatkan penyuluhan maksimal 6 bulan sebelumnya.
4.4.3.3 Kriteria drop out:
-Tidak
hadir dalam posttest
-Kuesioner
yang diisi tidak lengkap
4.4.4 Cara sampling
Sampel diambil dengan cara cluster
sampling dari populasi terjangkau.
4.4.6 Besar sampel
Jumlah
sampel minimal untuk penelitian analitis numerik berpasangan ditentukan
berdasarkan rumus.
4.5 Variabel penelitian
4.5.1 Variabel bebas
Penyuluhan kepada remaja siswa
Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1 Lohbener
4.5.2 Variabel terikat
Tingkat pengetahuan remaja tentang
kesehatan reproduksi.
4.5.3 Variabel perancu
Variabel perancu pada penelitian ini adalah lingkungan
pergaulan atau kelompok sebaya, dan paparan informasi sebelumnya dari media
massa, konseling, dan internet.
4.6 Definisi operasional
Tabel 3: Definisi operasional
variabel
No.
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Skala
|
1.
|
Penyuluhan
|
Bentuk pendidikan kesehatan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi.
Materi:
a.
Anatomi
dan fisiologi organ reproduksi
b.
Cara
memelihara kesehatan organ reproduksi
c. Pubertas
d. Kehamilan dan aborsi
e. Penyakit menular seksual dan
HIV/AIDS
|
Nominal
|
2.
|
Tingkat pengetahuan kesehatan
reproduksi
|
Hasil dari tahu, setelah melakukan
penginderaan terhadap informasi yang
diberikan pada penyuluhan. Pengukuran
dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh siswa sebelum dan sesudah diberi
penyuluhan.
|
Rasio
|
3.
|
Paparan informasi
|
Informasi mengenai:
a.
Anatomi
dan fisiologi organ reproduksi
b.
Cara
memelihara kesehatan organ reproduksi
c. Pubertas
d. Kehamilan dan aborsi
e. Penyakit menular seksual dan
HIV/AIDS Yang diperoleh melalui media massa, internet, maupun konseling dengan guru atau petugas kesehatan
sebelumnya. Pengukuran didasarkan isian siswa pada kuesioner.
|
Ordinal
|
4.
|
Lingkungan pergaulan/kelompok
sebaya
|
Keadaan atau komunitas di sekitar
yang mempengaruhi pola perilaku dan
pengetahuan seseorang, berupanpembicaraan/atau diskusi dengan teman-teman
sebaya tentang kesehatan reproduksi.
|
Nominal
|
4.7 Cara pengumpulan data
4.7.1 Alat dan instrumen
Alat
dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Materi
penyuluhan kesehatan reproduksi
Penyuluhan
telahdiberikan melalui metode ceramah dengan alat bantu audiovisual. Alat bantu
audiovisual meliputi slideshow, alat peraga, dan video. Informasi yang telah disampaikan
adalah mengenai anatomi dan fisiologi organ reproduksi, cara memelihara
kesehatan organ reproduksi, pubertas, kehamilan dan aborsi, serta penyakit
menular seksual dan HIV/AIDS.
2.
Kuesioner
penelitian
Kuesioner
yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan mengukur tingkat pengetahuan
kesehatan reproduksi. Kuesioner tersebut disusun oleh peneliti dengan bersumber
pada kepustakaan yang tersedia. Kuesioner kemudian diuji validitasnya dengan
metode judgement experts. Kuesioner dikirimkan kepada tiga pakar di bidang
Obstetri dan Ginekologi, dan setiap poin pertanyaan yang ada dinilai dengan
skor:
1: setuju pertanyaan diajukan kepada
responden
0: tidak setuju pertanyaan diajukan kepada responden
Pertanyaan dalam kuesioner dapat
diajukan kepada responden apabila minimal dua orang ahli menyetujui pertanyaan
tersebut diajukan.Kuesioner terdiri dari 30 pertanyaan dengan jenis pilihan
ganda (Multiple Choice Question/MCQ) dan identifikasi benar/salah. Penilaian didasarkan
pada jumlah jawaban benar, yaitu antara 0 hingga 30. Semakin tinggi skor maka
semakin tinggi tingkat pengetahuan responden, dan begitu pula sebaliknya.
3.
Lembar
informed consent yang menyatakan bahwa siswa bersedia menjadi responden
penelitian.
4.7.2 Jenis data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
primer dari isian kuesioner responden yang telah divalidasi, beserta data
karakteristik responden yang meliputi identitas siswa dan pertanyaan pembuka
tentang paparan informasi sebelumnya dan lingkungan pergaulan.
4.7.3 Cara kerja
Kuesioner pretest dibagikan kepada siswa untuk kemudian
dijawab sesaat sebelum penyuluhan dimulai, sedangkan kuesioner posttest dibagikan
satu minggu setelah penyuluhan selesai. Seluruh proses pembagian kuesioner
dilakukan di SMPN I Lohbener. Analisis DataPengolahan data meliputi tahap
editingatas data yang telah tersedia, tahap pengkodean dan penilaian (coding
and scoring), serta tahap entri data ke dalam tabel pengukuran. Data kemudian
dimasukkan
dan dianalisis menggunakan program SPSS, dan dilakukan uji normalitas. Uji
hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji t berpasangan (paired
t test), sebab penelitian ini memiliki hipotesis komparatif numerik berpasangan
yang terdiri dari dua kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. The
sexual and reproductive health of younger
adolescents: research issues in developing countries: background paper for a
consultation [homepage on the internet]. c2011. [cited 2011 Sept 15]. Available
from:http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241501552_eng.pdf.
2. World Health Organization. Promoting
adolescent sexual and reproductive health through schools in low income
countries: an information brief [homepage on the internet]. c2009. [cited 2011
Sept 15]. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2009/WHO_FCH_CAH_ADH_09.03_eng.pdf.
3. World Health Organization. 2011
Update for the MDG database: adolescent birth rate [homepage on the internet].
c2011. [cited 2011 Sept 15]. Available from: http://www.un.org/esa/population/.
4. Ditjen PP & PL Kementerian
Kesehatan. Laporan perkembangan situasi HIV & AIDS di Indonesia: Triwulan 2
Tahun 2011. c2011. [cited 2011 Sept 15]. Available from: http://www.aidsindonesia.or.id/laporan-bulan-juni-2011.html
5. Kasus HIV/AIDS didominasi hubungan
seksual. Available from: url:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/09/19/96792/Kasus-HIVAIDS-Didominasi-Hubungan-Seksual
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Kementerian Kesehatan R.I.; 2010
7. World Health Organization. Adolescent
pregnancy: issues in adolescent health and development [homepage on the
internet]. c2004. [cited 2011 Sept 15]. Available from: http://
www.who.int/child_adolescent_health/documents/9241593784/en/.
8. Notoatmodjo S. Pendidikan dan perilaku
kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2003.
9. Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I.
Kesehatan remaja: problem dan solusinya.Jakarta: Salemba Medika; 2010.
10. Balen
R, Crawshaw M. Sexuality and fertility issues in ill health and disability:
from early adolescence to adulthood. London: Jessica Kingsley Publ; 2006.
11. World
Health Organization. Adolescent friendly health services: an agenda for change
[homepage on the internet]. c2002. [cited 2011 Sept 15]. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_FCH_CAH_02.14.pdf
12. Kusmiran E. Kesehatan reproduksi remaja dan
wanita. Jakarta: Salemba Medika; 2011.
13. Bolin A, Whelehan P. Human sexuality:
biological, psychological, and cultural perspectives. New York: Routledge;
2009.
14. Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo;
2007.
15. World Health Organization. Pregnant
adolescents: delivering on global promises of hope [homepage on the internet].
c2006. [cited 2011 Sept 15]. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9241593784_eng.pdf
16. Wiknjosastro H. Ilmu kandungan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo; 2007.
17. Hasmi
E. Membantu remaja memahami dirinya: bacaan bagi fasilitator. Jakarta: BKKBN;
2002.
18.
Kasper DL, et.al. Harrison’s manual of medicine. New York: McGraw Hill; 2005.
19. Bensley
RJ, Brookins-Fisher J. Metode pendidikan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC;
2008.
20. Hull TH, Hasmi E, Widyantoro N. Peer educator
initiatives for adolescent reproductive health projects in Indonesia. Reprod
Health Matters. 2004; 12(23):29-39.
21. Greenspan FS, Gardner DG. Basic and clinical
endocrinology. New York: McGraw Hill; 2006.
22. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Modul pelatihan bimbingan dan penyuluhan kesehatan reproduksi remaja bagi
petugas kesehatan: pegangan bagi pelatih. Jakarta: Depkes RI; 2000.
23. Santhya KG, Ram U, Acharya R, Jejeebhoy SJ,
Ram F, Singh A. Associations between early marriage and young women’s marital
and reproductive health outcomes: evidence from India. Int Perspect Sex Reprod
Health. 2010; 36(3):132-139.
0 comments:
Post a Comment