BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya pendidikan adalah proses
tranformasi atau proses perubahan tingkah laku peserta didik. Perubahan tingkah
laku yang dimaksud bukan sekedar perubahan dalam penambahan jenis tingkah
lakunya, tetapi diharapkan terjadi perubahan struktural yang berkenaan dengan
perubahan tingkah laku menuju derajat kemampuan dalam menycapai prestasi
belajar yang diharapkan.
Prestasi belajar merupakan suatu nilai
yang menunjukan hasil yang tertinggi dalam belajar yang dicapai menurut
kemampuan siswa dalam mengerjakan sesuatu pada saat tertentu. Saat ini
kebanyakan dari beberapa siswa belum memiliki kemauan untuk merubah perilaku
belajarnya, sehingga para siswapun mengalami kesulitan dalam meningkatkan
prestasi belajarnya. Hal ini tergambarkan pada table penilaian dari hasil
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa kelas XII pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia di SMA Negeri 1 Indramayu.
Tabel 1
Data Rekapitulasi Prestasi Belajar
Siswa
Kelas
|
Banyaknya Nilai
|
Banyaknya Siswa
|
Komulatif Nilai
|
Presentase (%)
|
XII
IPA 1
|
90
|
1
|
90
|
5,0
|
80
|
1
|
80
|
4,4
|
|
70
|
2
|
140
|
7,7
|
|
60
|
10
|
600
|
33,1
|
|
50
|
18
|
900
|
49,7
|
|
∑
|
|
32
|
1.810
|
100,0
|
XII
IPA 2
|
100
|
2
|
200
|
8,4
|
90
|
1
|
90
|
3,8
|
|
80
|
6
|
480
|
20,3
|
|
70
|
10
|
700
|
29,5
|
|
60
|
15
|
900
|
38,0
|
|
∑
|
|
34
|
2.370
|
100,0
|
XII
IPA 3
|
80
|
1
|
80
|
5,2
|
70
|
8
|
560
|
36,1
|
|
60
|
5
|
300
|
19,4
|
|
50
|
10
|
500
|
32,3
|
|
40
|
11
|
110
|
7,1
|
|
∑
|
|
35
|
1.550
|
100,0
|
XII
IPA 5
|
80
|
3
|
240
|
11,9
|
70
|
9
|
630
|
30,0
|
|
60
|
7
|
420
|
20,0
|
|
50
|
10
|
100
|
23,8
|
|
40
|
3
|
120
|
6,0
|
|
∑
|
|
34
|
2.010
|
100,0
|
XII
IPA 6
|
100
|
1
|
100
|
4,7
|
|
80
|
4
|
320
|
15,1
|
|
70
|
8
|
560
|
26,4
|
|
60
|
13
|
780
|
36,8
|
|
40
|
9
|
360
|
17,0
|
∑
|
|
35
|
2.120
|
100,0
|
Total
|
|
206
|
|
|
Sumber
: Nilai rata-rata siswa semester 1 tahun pelajaran 2011/2012
Dari
tabel data rekapitlasi prestasi belaja siswa di atas, menunjukan bahwa nilai
hasil ulangan di kelas XII IPA terdapat 82,8% siswa yang nilainya kurang dari
KKM, dimana nilai KKM yang harus dicapai oleh siswa adalah 70. Sedangkan, siswa
yang memiliki jumlah nilai yang sesuai dengan KKM hanya terdapat 17,1%.
Demikian juga hasil penilaian ulangan
yang terjadi pada kelas XII IPA 2 masih banyak siswa yang memiliki nilai di
bawah KKM yaitu sebesar 67,5. Demikian halnya hasil ulangan di kelas XII IPA 3
terdapat 58,8% siswa yang memiliki nilai ulangan di bawah KKM. Kemudian kelas
XII IPA 4, IPA 5, IPA 6. Berturut-turut memiliki nilai di bawah KKM yaitu
57,1%, 56,8%.
Jika dilihat dari nilai-nilai yang
dicapai oleh siswa di beberapa kelas masih banyak siswa yang memiliki nilai di
bawah KKM, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor baik internal maupun
eksternal. Akan tetapi faktor yang mendominasi adalah faktor eksternal yang
berasal dari keluarga.
Keluarga menurut Noor (1983) adalah
suatu unit atau lingkungan masyarakat yang paling kecil atau merupakan eselon
masyarakat yang paling bawah dari satu lingkungan Negara. Posisi keluarga atau
rumah tangga ini sangat sentral seperti diungkapkan oleh Aristoteles (dalam
Noor, 1983) bahwa keluarga rumah tangga adalah dasar pembinaan Negara. Dari
beberapa keluarga rumah tangga berdirilah suatu kampong kemudian berdiri suatu
kota. Dari beberapa kota berdiri satu propinsi, dan dari beberapa berdiri satu
negara.
Dengan demikian jelas bahwa keluarga
awatu sebuah rumah tangga sebagai lingkungan masyarakat yang paling kecil yang
akan menentukan terhadap bentuk kehidupan masyarakat dan negaranya. Oleh karena
itu, setiap rumah tangga atau keluarga di dalam kehidupan masyarakat ini
mempunyai tiga fungsi kehidupan yang sangat menentukan sekali keadaan
masyarakatnya.
Fungsi-fungsi
tersebut adalah :
1. Sebagai
lembaga masyarakat
2. Sebagai
sumber manusiawi (human resource)
3. Tempat
pembinaan peradaban dan kebudayaan masyarakat serta pengembangannya
(Noor,1983).
Sebagai lembaga masyarakat, keluarga itu
mempunyai arti bahwa bentuk dan corak kehidupan masyarakat itu ditentukan
sekali oleh bentuk dan corak serta situasi kehidupan rumah tangga atau keluarga
yang terdapat pada masyarakat tersebut. Apabila setiap keluarga itu baik, maka
masyarakat yang akan terbentuk pun akan baik, begitu juga sebaliknya.
Sebagai human resource berarti dari sebuah keluarga akan dilahirkan
generasi keturunan umat manusia yang akan mengisi dan menentukan suatu bentuk
kehidupan masyarakat kelak dikemudian hari. Sementara arti keluarga sebagai
tempat pembinaan peradaban dan kebudayaan serta perkembangannya adalah bahwa
setiap anak yang dilahirkan akan bersosialisasi atau bergaul dengan keluarganya
terlebih dulu. Pergaulan anak sehari-hari dalam lingkunga keluarganya ini akan
membentuk karakter, watak, dan sika serta kepribadian anak.
Menurut Anita Taylor (dalam Marhaeni,
1996) dijelaskan pengertuan keluarga adalah kelompok social yang terkecl dalam
masyarakat yang mempunyi cirri dan bentuk komunikasi yang berbeda dengan
kelompok social lainnya. Perbedaan utama aadalah pada situasi komunikasi yang
terjadi dengan sangat akrab, keluarga merupakan kelompoj dimana seorang belajar
tentang pola dasar untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga berfungsi
dalam suatu kesatuan social.
Marhaeni menjelaskan fungsi utama keluarga yaitu merupakan suatu lembaga social
yang membentuk kepribadian seseorang yang tercermin dalam pola perilkaunya.
Dalm artian, bahwa interaksi yang selalu terjadi antara anggota keluarga akan
membentuk pribadi seseorang yaitu bentuk relative dari tingkah laku, sikap dan
nilai-nilai seseorang yang diakui oleh dirinya maupun orang lain yang terbentuk
dari pengalaman individu dalam lingkungan kebudayaan dari interaksi sosialnya
dengan orang lain. Keluarga merupakan pendidikan primer dan bersifat
fundamental bagi individu. Di situ seorang anak dibesarkan, memperolah
penemuan-penemuan, belajar hal-hal yang perlu untuk perkembangan selanjutnya.
Di dalam keluargalah, seseorang pertama kali mendapat kesempatan menghayati
penemuan-penemuan dengan sesame manusia, malahan dalam memperoleh perlindungan
pertama.
Beberapa pengertian keluarga yang lain,
seperti Margaret Mead. (dalam Marhaeni, 1996) mendefiniskan “the cultural cornerstone of any society,
transmitting its cultural history, instilling its prevailing value systems ad
socializing the next generation into effective citizens and human beings’. Burgers
dan lacke (dalam Marhaeni, 1996) mendifinisikan keluarga sebagai unit social
terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya hubungan
perkawinan (suami-istri) serta hubungan darah (anak kandung) atau anak Pungut
(adopsi)
Sementara fungsi kelaurga dimanfaatkan
dalam bentuk :
a. Pemenuhan
akan kebutuhan pangan, papan, sandang, dan kesehatan untuk pengembangan fisik
dan social
b. Kebutuhan
akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk perkembangan intelektual,
social, mental, emosional dan spiritual (Guhardja, 1992;9-10)
Sebuah keluarga yang ideal adalah sebuah
keluarga yang lengkap posisi dan perannya. Ada suami dan istri yang juga berperan sebagai bapak dan
ibu bagi anak-anak mereka. Hubungan antar anggota keluarga ini terbentuk karena
sebuah komunikasi yang tepat dan sesuai untuk digunakan dalam keluarga itu, dan
bisa jadi masing-masing keluarga menerapkan pola komunikasi yang berbeda-beda
karena sangat terganutng kebutuhan dan situasi yang melatarinya.
Secara umum, komunikasi dalam keluarga
ini biasanya berbentuk komunikasi antar pesona (face to face communicatuin) yang pada intinya merupakan komunikai
langsung dimana masing-masing peserta komunikasi dapat beralih fungsi, baik
sebagai komunikator dan komunikan. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah
bahwa reaksi yang diberikan masing-masing peserta komunikasi dapat diperoleh
langsung. Karena itulah, keluarga dapat dikategorikan sebagai satuan social
terkecil dalam kehidupan manusia sebagai mahluk social.
Bagi anak, komunikasi dalam keluarga
merupakan pengalaman pertama yang merupakan bekal untuk menemaptkan diri dalam
masyarakat. Komunikasi ini akan memberikan pengaruh bagi kehidupannya.
Oleh karenanya, peran serta orang tua
dalam mengkomunikasikan sesuatu kepada anaknya merupakn hal yang penting bagi
perkembangan psikologinya. Ketika pada saat anaknya berada dalam lingkungan
sekolah, tanggung jawab orang tua untuk mendidik anaknya masih tetap
diperlukan, walaupun dalam lingkungan sekolah tersebut bimbingannya dialih
fungsikan kepada guru. Guru yang merupkan pendidik dan pengajar mempunyai tugas
untuk mengubah perilaku siswa kea rah yang lebih baik, dibutuhkan arahan dan
bimbingan dari seorang guru untuk dapat menumbuh kembangkan potensi diri siswa.
Keberhasilan dalam membimbing siswa
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Sebenarnya, sebagai seorang siswa hal yang dibutuhkan adalah bimbingan dan
perhatian baik dari orang tuanya maupaun gurunya. Sehingga dari hal tersebut
diperlukan peran serta orang tua dalam mengkomunikasikan sesuatu serta
bimbingan dari guru dapat menentukan tingkat motiivasi belajar siswa dan pada
akhirnya berdampak pada pencapaian prestasi belajar yang maksimal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah diuraikan maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Apakah
ada pengaruh pola komunikasi orang tua terhadap intensitas bimbingan guru?
b. Apakah
ada pengaruh pola komunikasi orang tua terhadap motivasi belajar siswa SMA
Negeri 1 Indramayu.?
c. Pengaruh
intensitas bimbingan guru terhadap motivasi belajar siswa di SMA Negeri 1
Indramayu.?
d. Pengaruh
pola komunikasi orang tua terhadap prestasi belajar siswa di SMA Negeri 1
Indramayu?
e. Pengaruh
intensitas dari bimbingan guru terhadap prestasi belajar siswa di SMA Negeri 1
Indramayu?
f. Pengaruh
motivasi belajar siwa terhadap prestasi belajar siswa di SMA Negeri 1 Indramayu
?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas,
penelitian ini secara keseluruhan bertujuan untuk mengetahui tentang :
1. Sejauh
mana pengaruh pola komunikasi orang tua terhadap intensitas bimbingan guru
2. Sejauh
mana pengaruh pola komunikasi orang tua terhadap motivasi belajar siswa di SMA
Negeri 1 Indramayu.
3. Sejauh
mana pengaruh intensitas bimbingan guru terhadap motivasi belajar siswa di SMA
Negeri 1 Indramayu.
4. Sejauh
mana pengaruh pola komunikasi orang tua terhadap prestasi belaja siswa di SMA
Negeri 1 Indramayu
5. Sejauh
mana pengaruh intensitas bimbingan guru terhadap prestasi belajar siswa di SMA
Negeri 1 Indramayu
6. Sejauh
mana motivasi belajar siwa terhadap prestasi belajar siswa di SMA Negeri 1
Indramayu
1.4 Hipotesis
1. Semakin
efektif pola komunikasi orang tua dapat berpengaruh positif terhadap intensitas
bimbingan guru.
2. Semakin
efektif pola komunikasi orang tua dapat berpengaruh positif terhadap motivasi
belajar siswa.
3. Semakin
intensif bimbingan guru dapat berpengaruh positif terhadap motivasi belajar
siswa.
4. Semakin
efektif pola komunikasi orang tua dapat berpengaruh positif terhadap prestasi
belajar siswa.
5. Semakin
intensif bimbingan guru dapat berpengaruh positif terhadap prestasi belajar
siswa.
6. Semakin
tinggi motivasi belajar siswa dapat berpengaruh positif terhadap prestasi
belajar siswa.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1
Kajian
Teori
2.1.1.
Pengertian
Belajar
Ernest R. Hilgard mengartikan belajar
adalah suatu proses perubahan kegiatan karena reaksi terhadap lingkungan.
Perubahan tersebut tidak dapat disebut belajar apabila disebabkan oleh
pertumbuhan atau keadaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan
obat-obatan (Slimandjuntak dan Pasaribu, 1981:12)
Menurut teori kondisional klasik dari
aliran behaviorisme, belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus
yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respons,
stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi akhirnya mampu
menimbulkan respons (Oemar Hamalik, 2008:18).
Adapun penerapan teori belajar ini dalam
pendidikan adalah : (1). Tinghak laku guru mengharapkan murid menghafal secara
mekanis/otomatis; (2). Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan
reflektif; (3). Guru tersebut membiasakan muridnya dengan latihan; (4). Sekolah
(duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan, pikiran tak mengarahkan tingkah
laku; (5) guru hanya member tugas tanpa disadari oleh muridnya; (6) Guru tidak
memperhatikan individual differences; (7) Guru Menggunakan “learning by parts”
sampai tak ada hubungan; (8) Guru menyuapi murid saja dan murid menerima yang
diolah guru, jadi guru aktif (Simandjuntak dan IL. Pasaribu,1981:1947)
Dalam teori belajar asosiatif dari
aliran behaviorisme, perkembangan siswa yang belajar pada permulaanya adalah
bersih semisal selembar kertas putih, yang kemudian sedikit demi sedikit terisi
oleh pengalaman atu empiris (Sumadi Suyabrata, 1978:172). Penerapannya dalam
pendidikan, antara lain murid diberi latihan, praktik, pengulangan dan
kejadian-kejadian sesuai teori ini. Belajar asosiasi dimulai dengan mengurutkan
kata-kata tertentu yang berhubungan sedemikian rupa terhadap obyek-obyek,
konsep-konpsep, atau situasi sehingga bila kita menyebut yang satu cenderung
menyebut yang lain. Metode mengajar yang bisa dimanfaatkan dari teori ini
antara lain metode gambar dan demonstrasi.
Dalam teori stimulus respon (S-R Theory)
yang juga dari aliran behaviorisme, dasar-dasar belajar ialah asosiasi antara
kesan panca indra dengan impuls untuk bertindak. Bentuk belajar disifatkan
dengan belajar mencoba dan salah (trial and error learning) (Sumardi
Suryabrata,1987:271). Selain itu, belajar adalah hubungan antara stimulus dan
respons. Adapun implikasinya dalam pendidikan antara lain guru kurang
memperhatikan perbedaan individual, kadang-kadang lupa akan tujuan pokok karena
terlalu memperhatikan alat, dan biasanya yang berhasil adalah murid yang
semangat atau berkompetensi untuk menerima hadiah (Simandjuntak dan IL.
Pasaribu, 1981:1977).
Adapun dalam pandangan teori hadiah dan hukuman
dari aliran behaviroisme, belajar merupakan hasil tingkah laku sebagai hubungan
antara perangsang dan respons. Adapun penerapannya dalam pendidikan antara lain
anak yang telah belajar akan menjadi giat belajar jika mendapat hadiah, hadiah
yang diberikan kepada siswa tidak harus berupa barang, dan inovasi pengajaran
sebagian besar memanfaatkan teknologi pendidikan.
Dalam pandangan aliran kognitif, belajar
mencakup kemampuan atau mengatur kembali dari susunan pengetahuan melalui
porses kemanusiaan dan penyimpanan informasi. Ada dua macam kecakapan kognitif
siswa yang perlu dikembangkan antara lain strategi belajar untuk memahami isi
materi pelajaran dan strategi dalam penerangan dan menyarap pesan-pesan moral
yang terkandung dalam materi pelajaran.
Menurut teori konstruktivisme, belajar
menekankan keaktifan siswa. Siswa itu sendiri yang harus secara pribadi
menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru
dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai
lagi. Siswa harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri, dan siswa secara
terus- menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan
aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut.
Oleh karena itu, guru tidak dapat hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri, guru hanya membantu proses ini dengan
cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat
relevan bagi siswa dengan memberikan kesimpulan kepada siswa unuk menerapkan
sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar menyadari dan secara sadar menggali
strategi – strategi mereka sendiri untuk belajar.
Adapun penerapannya dalam pendidikan
antara lain : (1) pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif; (2) tekanan
proses belajar mengajar terletak pada siswa; (3) mengajar adalah membantu siswa
belajar; (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada
prestasi belajar; (5) kurikulum menekankan pada partisipasi siswa; (6) guru adalah
fasilitator (Paul Suparno, 1997:34).
Teori belajar yang terakhir, yaitu
belajar sosial. Dalam pandangan teori ini, belajar bukan hanya hasil tingkah
laku seseorang semata-mata secara reflex terhadap stimulus, melainkan juga
akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi lingkungan dengan skema
kognitif siswa sendiri. Karena itu, penerapan teori belajar social ini adalah
proses perkembangan social dan moral siswa ditekankan pada perlunya
conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan)
2.1.2.
Pengertian
Pengertian Belajar
Salah satu tugas pokok guru ialah
mengevaluasi taraf keberhasilan rencana dan pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar. Untuk melihat bagaimana taraf keberhasilan mengajar guru belajar
siswa secara tepat dan pelajaran lazimnya ditunjukkan oleh nilai tes atau angka
nilai yang diberikan oleh guru (Tulus Tu’u, 2004 :75)
Prestasi belajar merupakan suatu
gambaran dari penguasaan kemampuan para peserta didik sebagaimana telah
ditetapkan untuk suatu pelajaran tertentu. Setiap usaha yang dilakukan dalam
kegiatan pembelajaran baik oleh guru sebagai pengajar, maupaun oleh peserta
didik sebagai pelajar bertujuan untuk mencapai prestasi yang
setinggi-tingginya. Prestasi belajar dinyatakan dengan skor hasil tes atau
angka yang diberikan guru berdasarkan pengamatannya belaka atau keduanya, yaitu
hasil tes serta pengamatan guru pada waktu peserta didik melakukan diskusi
kelompok.
Dalam pandangan Nana Sudjana (2006:3),
penilaian prestasi belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil prestasi
belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan
bahwa obyek yang dinilainya adalah perubahan tingkah laku mencakup kognitif,
efektif dan psikomotor.
Prestasi belajar dapat dioperasikan
dalam bentuk indicator-indikator berupa nilai raport, indeks prestasi studi,
angka ketulusan, predikat keberhasilan, dan semacamnya. Dengan demikian,
prestasi belajar dapat dikatakan sebagai indicator penting dalam keseluruhan
proses pendidikan pada umumnya dan proses belajar pada khususnya, karena
prestasi belajar ini berfungsi untuk mengetahui keberhasilan belajar pada mata
pelajaran atau bidang studi tertentu dan juga sebagai indicator kualitas
institusi pendidikan itu sendiri.
Terkait dengan makna prestasi belajar,
maka paling tidak memiliki batasan pengertian, yaitu : pertama, prestasi
belajar yang dicapai siswa ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan
pembelajaran di sekolah; kedua, prestasi belajar siswa tersebut terutama
dinilai aspek kognitifnya karena bersangkuran dengan kemampuan siswa dalam
pengetahuan, atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesa, dan
evaluasi; dan ketiga, pretasi belajar siswa dibuktikan dan diajukkan melalui
nilai atau angka nilai evaluasi yang dilakukan oleh guru terhadap tugas siswa
dan ulangan-ulangan atau ujikan yang ditempuhnya.
Terkait denan prestasi belajar, maka
sebelum diketahui prestasi belajar siswa, maka guru akan melakukan proses
penilaian atau evaluasi. Pernyataan pokok sebelumnya melakukan penilaian adalah
apa yang harus dinilai itu. Terhadap pernyataan ini kita kembali kepada
unsur-unsur yang terdapat dalam pembelajaran.
Hongward Kingsley membagi tiga macam
prestasi belajar, yakni (a) ketrampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan
pengertian, (c) sikan dan cita-cita. Masing-masing jenis prestasi belajar dapat
diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne
membagi lima kategori prestasi belajar, yakni (a) informasi verbal, (b)
ketrampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, (e) ketrampilan
motoris (Nana Sudjana, 2006:22).
2.1.3.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Siswa
Menurut para ahli pendidikan
keberhasilan siswa mencapai prestasi belajar yang baik dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor. Faktor itu terdiri dari tingkat kecerdasan yang baik,
pelajaran yang sesuai bakat yang dimiliki, ada minta dan perhatian yang tinggi
dalam pembelajaran, motivasi yang baik dalam belajar, cara belajar yang baik
dan strategi pembelajaran variatif yang dikembangkan oleh guru. Suasana
keluarga yang memberikan dorongan anak untuk maju. Selain itu, lingkungan
sekolah yang tertib, teratur, disiplin, yang kondusif bagi kegiatan kompetensi
siswa dalam pembelajaran (Tulus Tu’u, 2004:81).
Adapun menurut Slameto (1995:54-60),
faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor intern dan
ekstern. Faktor intern mencakup faktor jasmaniah, meliputi kesehatan, cacat
tubuh; faktor psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat,
motivasi, kematangan, dan kesiapan; dan kelelahan. Adapun fator-faktor ekstern
mencakup : (1) keluarga, seperti cara orang tua mendidik anak, relasi antar
anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang
tua, dan latar belakang kebudayaan; (2) sekolah, seperti metode mengajar,
kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin
sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran diatas ukuran,
keadaan gedung, metode mengajar, dan tugas rumah; dan (3) masyarakat, seperti
kegiatan siswa dalam masyarakat, meass media, teman bergaul, dan bentuk
kehidupan masyarakat.
W.S. Winkel (1983:43) mengelompokkan
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yaitu faktor-faktor pada
pihak siswa dan faktor-faktor di luar siswa.
Faktor-faktor pada pihak siswa mencakup
:
1. Faktor
Psikis, yaitu bersifat intelektual sepertitaraf
intelegensia, kemampuan belajar dan cara belajar; dan bersifat non-intelektual seperti motivasi
belajar, sikap, perasaan, minat, kondisi psikis, dan kondisi akibat keadaan
sosio-kultur.
2. Faktor
Fisik, seperti kondisi fisik.
Sedangkan faktor-faktor di luar siswa
meliputi :
1. Faktor-faktor
pengatur proses belajar di sekolah, seperti kurikulum pengajaran, disiplin
sekolah, teacher effectiveness, fasilitas belajar, dan pengelompokkan siswa.
2. Faktor
sosial di luar sekolah, seperti sistem sosial, status sosial siswa, dan
interkasi guru-murid.
3. Faktor
situasional, seperti keadaan politik-ekonomi, keadaan waktu dan tempat, dan
keadaan musim iklim.
Oleh karena itu, guru harus menjadi
seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah
tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi
pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Semua pertanyaan yaitu melalui kegiatan
evaluasi atau penilaian.
2.1.4.
Konsep
Pola Komunikasi dalam Keluarga
2.1.4.1.
Pengertian
Komunikasi
Secara etimolis istilah komunikasi dari
bahasa latin “cominication” yang
berasal dari kata “communis” yang
berarti sama. “sama” dalam hal ini adalah mempunyai kesamaan makna atau dengan
kata lain “sama makna”. Kata “communis” juga diartikan milik bersama
atau berlaku dimana-mana.
Jadi, komunikasi dapat berlangsung bila
antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai kesamaan
suatu hal yang dikomunikasikan. Di sini pengertian diperlukan agar komunikasi
dapat berlangsung secara berkelanjutan, sehingga hubungan antar orang yang
berkomunikasi tersebut bersifat komunikatif.
Selain itu secara terminology,
komunikasi beraarti proses penyampain suatu pertanyaan oleh seseorang kepada
orang lain. Dari pengertian komunikasi disini jelas bahwa komunikasi melibatkan
sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan suatu kepada orang lain. (Djamarah,
2004:11).
Berikut ini adalah beberapa istilah
komunikasi yang dikemukakan oleh para pakar, yaitu :
a. Komunikasi
berarti “pemberitahuan pembicaraan, percakapab, pertukaran pikiran dan hubungan
(Hardjana, 2003 dalam diklat prajabatan
oleh Dra. Tati Setiawati).
b. Komunikasi
adalah suatu transaksi, dan proses simbolik yang menghendaki orang-orang
mengatur lingkungannya dengan membangun antar sesame manusia, melalui
pertukarab informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku mereka dan
berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (Cangara, 200:18).
c. Lasweel
(1972) komunikasi sebagai proses penyampaian pesan oleh kominikator kepada
komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Efendy, 1990 : 10).
d. Mendefinisikan
komunikasi suatu proses transfer informasi beserta pemahamannya dari suatu
pihak kepada pihak lain melalui alat-alat berupa symbol-simbol yang penuh arti (Abi Sujak, 1990:25).
e. Komunikasi
dilihat sebagai proses penyampaian dan penerimaan informasi berupa lambing yang
mengandung arti makna sampai menjadi sama (Suwita,
1990:56).
f. Komunikasi
adalah suatu proses ekspresi, penyampaian, dan penerimaan pesan. Kegagalan
untuk berkomunikasi secara efektif dapat menimbulkan masalah pada salah satu
atau kedua proses tersebut (Lazarus,
2000:107).
Dalam terminology yang lain, komunikasi
dapat dipandang sebagai suatu proses penyampaian informasi. Dalam pengertian
ini, keberhasilan komunikasi dapat ditentukan oleh adanya penguasaan materi dan
pengaturan cara-cara penyampianannya, sedangkan pengirim dan penerima pesan bukan
merupakan komponen yang menentukan. Selain itu, komunikasi bisa juga dipandang
sebagai proses penyampaian gagasan dari seseorang kepada orang lain. Pengertian
ini secara implicit menempatkan pengirim pesan sebagai penentu utama
keberhasilan, sedangkan penerima pesan dianggap sebagai obyek yang pasif.
Sebenarnya, komunikasi tidak hanya pandang sebagai proses penyampaian suatu
pernyataan (informasi), atau penyampaian gagasan, tetapi sudah melibatkan
pengirim dan penerima pesan secara aktif dan kreatif dalam penciptaan arti dari
pesan yang disampaikan. Oleh karena itu, komunikasi diartikan sebagai proses
penciptaan terhadap gagasan atau ide yang
disampaikan. Dalam pengertian ini bahwa komunikasi memberikan pesan yang
seimbang antara pengirim pesan, pesan yang disampaikan, dan penerima pesan yang
merupakan tiga komponen utama dalam proses komunikasi. Pesan dapat disampaikan
oleh beberapa media, namun pesan itu hanya mempunyai arti apabila pengirim dan
penerima pesan berusaha menciptakan arti tersebut.
Dalam pengertian pragmatis, komunikasi
mengandung tujuan tertentu, ada yang dilakukan secara lisan, tatap muka, atau
vila media massa maupun non media massa, misalnya surat, telepon, dan
sebagainya. Jadi, komunikasi dalam pragmatis bersifat intensional, mengandung
tujuan tertentu, yang diawali dengan suatu perencanaan. Entah komunikasi itu
dengan maksud untuk member tahu,mengubah sikap, pendapat, atau perilaku orang lain. Jadi dalam perspektif
rgmatis, “komunikasi adalah proses penyampain suatu pesan oleh seseorang kepada
orang untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik
langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media”. (Mafri Amir,
1999:23).
Dari definisi diatas, maka penulis
berpendapat yang harus kita perhatikan dalam berkomunikasi, sebagai berikut :
a) Bahwa
komunikasi merupakan suatu bentuk pembicaraan atau perkataan dari seseorang
kepada orang lain yang dapat disalurkan melalui berbagai media, baik berupa
sikap, perilaku maupun pendapat ;
b) Komunikasi
dapat dipandang sebagai proses secara keseluruhan yang penciptaannya dapat dilalui
oelh beberapa serangkaian kegiatan (naik berupa tahapan, maupun
langkah-langkah) dalam penyampaian informasi ;
c) Komunikasi
menyangkut aspek manusia dan bukan manusia, seperti perlatan elektronik
(computer) dapat mengirim/menirima suatu informasi dalam sistem komunikasi ;
d) Dan
komunikasi juga dapat dilihat sebagai proses penyampaian pesan dan penerimaan
informasi yang berbentuk lambing-lambang atau symbol yang diperuntukan
penyamapaian arti dan makna agar mudah untuk dimengerti baik oleh komunikator
ataupun komunikan.
Mempelajari komunikasi dalam suatu
kegiatan dimaksudkan agar kita dapat melakukan interaksi dua arah secara
timbale balik yang akan melahirkan masukan serta hasil. Demikian juga agar kita
dapat mengetahui bagaimana komunikasi dipergunakan secara efektif untuk
membantu mencapai suatu tujuan-tujuan tertentu. Maloran (1978) mengatakan bahwa
“suatu komunikasi akan terwujud apabila timbale balik biasanya terjadi antara
individu-individu yang berkeinginan untuk berbuat sesuatu, dan apabila
perbuatan itu dalam rangka mencapai tujuan.
Proses komunikasi pada hakikatnya adalah
proses penyampaian pikiran atau perusahan oleh orang tua kepada anak dalam
keluarga. Materi yang dijadikan bahwa komunikasi orang tua adalah nilai-nilai
sikap dan perilaku agar seorang menjadi anak yang berhasil dalam mencapai
cita-citanya. Tentunya hal ini memerlkan suatu
pengorbanan bahwa ornag tua harus berperan aktif dalam melihat
perkembangan anak-anaknya dalam belajar.
Berdasarkan kegiatan perkomunikasikan,
ketiga komponen itulah yang berinteraksi. Ketika suatu pesan disampaikan oleh
komunikator melalui perantara media kepada komunikan, maka komunikator Memformulasikan
pesan yang akan disampaikannya dalam bentuk kode tertentu, yang sedapat mungkin
dapat ditafsirkan oleh komunikasi dengan baik. Berhasil tidaknya komunikasi
atau tercapai tidaknya tujuan komunikasi tergantung dari ketiga komponen
tersebut. Proses komunikasi dapat diilustrasikan seperti dibawah ini :
Di lihat dari prosesnya, komunikasi
dapat dibedakan atas komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Komunikasi
verbal adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik bahasa tulis maupun
bahasa lisan. Sedangkan komunikasi non verbal adalah komunikasi yang menggunakan
isyarat, gerak-gerik, gambar, lambing, mimic muka dan sebagainya. (Djamarah,
2004 : 13).
Komunikasi memerlukan tiga hal, yaitu
(1) komunikator (orang yang menyampaikan pesan), (2) komunike (pesan), dan (3)
Komunikan (yang menerima pesan). Komunikasi merupakan interaksi lambang-lambang
yang merupakan penuangan semua pikiran, perasaan, keinginan, harapan, kecewa
dan sebagainya dengan tujuan komunikatordapat mempengaruhi komunikan. (Sauri S,
2006:56).
Jika dilihat dari segi aplikatifnya,
penggunaan komunikasi sulit untuk memberikan pengaruh baik dari komunikator
maupun komunikan. Sering terjadi kesalah pahaman dalam penyampaian komunikasi
(miss komunikasi) terhadap yang semestinya disampaikan. Misalnya dalam
lingkungan keluarga, orang tua sering mengalami kesulitan untuk perilaku
anaknya agar lebih baik dari yang sebelumnya. Ketika orang tua mengingatkan,
kadang-kadang anaknya tidak merespon dari apa yang disampaikan orang tuanya.
Disinilah orang tua dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik
agar dalam penyampaian pesan kepada anaknya dapat diterima tanpa ada kesalahan.
Menimbulkan tindakan nyata dari sebuah
proses komunikasi merupakan indikator efektivitas yang paling penting, karena
untuk menimbulkan tindakan nyata, orang tua harus berhasil lebih dahulu
menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan
yang baik dari anggota keluarga. Tindakan nyata merupakan akumulasi seluruh
proses komunikasi. (Jalaludin R, 2008:16).
Dalam proses komunikasi ada beberapa
unsur komunikasi yang diperlukan yang sekaligus menjadi prasyarat untuk
berlangsungnya komunikasi. Unsur-unsur komunikasi sebagai berikut :
Komunikator adalah tempat asal sumber
pengertian yang dikomunikasikan sebagai orang yang mempunyai berita atau
informasi. Komunikator adalah orang atau individu yang sedang berbicara,
menulis, atau memperlihatkan sebuah tanda. Komunikator dapat berupa kelompok
orang, organisasi komunikasi, televise, film dan sebagainya. Dalam proses
pembelajaran guru/pendidik disebut komunikator.
Komunikator adalah seorang pemimpin
dalam pengelolaan informasi, yang sedang disampaikan kepada orang lain. Dalam
proses komunikasi, komunikator memegang peran yang sangat penting terutama
dalam mengendalikan jalannya komunikasi. Untuk itu komunikator harus terampil
berkomunikasi, punya ide yang banyak dan daya kreatifitas. Di antara syarat –
syarat yang harus dimiliki oleh komunikator adalah :
a. Mengenal
diri sendiri
Komunikator adalah pengambil inisiatif
terjadinya suatu proses komunikasi. Oleh karena itu ia harus mengetahui lebih
awal tentang kesiapan dirinya, pesan yang ingin disampaikan, media yang akan
digunakan, hambatan yang mungkin ditemui, serta khalayak yang menerima pesan.
Dalam kehidupan sehari-hari mengenal diri adalah suatu hal yang amat penting
jika kita menempayykan diri kita dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan kita.
b. Kepercayaan
(credibility)
Kepercayaan adalah seperangkat persepsi
tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki untuk dapat diikuti oleh khalayak
(penerima). Untuk menjadi seorang komunikator yang efektif harus memiliki
kepercayaan diri yang tinggi.
c. Daya
Tarik (attractiviness)
Daya tarik salah satu faktor penentu
komunikasi. Si pendengar akan mengikuti pandangan seseorang komunikator, karena
ia memiliki daya tarik. Sebaliknya jika komunikator tidak memiliki daya tarik
maka si pendengar tidak akan mengacuhkanya, sehingga pesan yang disampaikan
akan berlalu begitu saja. Dengan daya tarik, seorang komunikator akan mampu
melakukan perubahan sikap/penambahan pengetahuan bagi/pada diri komunikan.
Seorang komunikator, kita harus mempertimbangkan kerangka reference (kerangka rujukan) dan komunikan. Komunikasi akan
berhasil baik jika pesan yang disampaikan sesuai dengan rangka pengetahuan dan
lingkup pengetahuan komunikan.
d. Kekuatan
(Power)
Kekuatan adalah kepercayaan diri yang
harus dimiliki oleh seorang komunikator jika ia ingin mempengaruhi orang lain.
Kekuatan juga bisa diartikan sebagai kekuasaan dimana audien dengan mudah
menerima suatu pendapat tentu saja kalau hal itu disampaikan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Seperti halnya
seorang kepala kantor dengan stafnya. Namun inti dari kekuatan bukan pada
fisik, tapi pada kewibawaan.
e. Memiliki
keterampilan berkomunikasi
Keterampilan berkomunikasi harus
dimiliki oleh seorang komunikator, sebab komunikasi harus dimiliki oleh seorang
komunikan agar dapat diterima seperti yang dimaksud oleh komunikator, kalau
komunikator tidak terampil maka komunikasi yang dilakukan akan menghadapi
hambatan.
f. Mempunyai
pengetahuan yang luas
Seorang komunikator harus mempunyai
pengetahuan yang luas terhadap apa yang akan dikomunikasikannya kepada
komunikan, dengan pengetahuan yang luas komunikator mampu mempengaruhi dan
menyakinkan komunikan terhadap apa yang disampaikannya. (Ramayulis, 2006 :177)
2.1.4.2.
Pola
Komunikasi Dalam Keluarga
Komunikasi merupakan suatu unit dasar
organisasi manusia. Keluarga sangat memainkan peranan dalam mewarnai
transformasi sosial dan cultural sebagai penentu maju tidaknya suatu bangsa.
Keluarga yang ideal dan merupakan cita-cita kita semua adalah keluarga sakinah.
Keluarga sakinah adalah keluarga yang mampu memenuhi semua fungsi-fungsi
keluarga, seperti fungsi keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kasih sayang,
budaya, perlindungan dan pembinaan lingkungan.
Komunikasi adalah suatu kegiatan yang
pasti terjadi dalam kehidupan keluarga. Tanpa komunikasi, sepilah kehidupan
keluarga dari kegiatan berbicara, berdialog, bertukar pikiran dan sebagainya.
Akibatnya kerawanan hubungan antara anggota keluarga pun sukar untuk dihindari.
Oleh karena itu, komunikasi antara suami dan isteri, komunikasi antara ayah,
ibu dan anak, komunikasi antara ayah dan anak, komunikasi antara ibu dan anak
dan komunikasi antara anak dan anak, perlu dibangun secara harmonis dalam
rangka membangun pendidikan yang baik dalam keluarga. Maka pola komunikasi yang
sering terjadi dalam keluarga yaitu:
1. Model
Stimulus-Respons
Pola komunikasi yang biasanya terjadi
dalam keluarga adalah model Stimulus-Respons
(S-R). Pola ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses “aksi-reaksi” yang sangat sederhana. Pola
S-R mengasumisikan bahwa kata-kata verbal (lisan-tulisan), isyarat-isyarat non
verbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang
lain untuk memberikan respons dengan cara tertentu. Oleh karena itu, proses ini
dianggap sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau gagasan.
Dalam kehidupan sehari-hari sering
dilihat orang tua memberikan isyarat verbal, non verbal, gambar-gambar atau
tindakan-tindakan tertentu untuk mengsang anak, terutama anak yang masih bayi,
untuk memberikan tanggapan dengan cara tertentu, ketika seorang ibu sedang
memangku tanggapan dengan cara tertentu. Ketika seorang ibu sedang memangku dan
menyusui bayinya, dia tidak hanya membelai bayinya dengan sentuhan kasih saying
dan kehangatan cinta, tetapi juga memberikan senyuman, canda tawa. Walaupun
ketika itu bayi berlum pandai berbicara, tetapi dia sudah pandai memberika
tanggapan terhadap rangsangan yang diberikan ibunya.
Anak yang berumut sekitar dua setengah
tahun sudah padai memberikan israta non verbal dan verbal meski penguasaan
bahasa yang dia miliki sangat terbatas, hanya beberapa kosa kata yang dapat
dikuasainya, karena perkembangan motoriknya semakin baik, yang bergerdak dari integrasi ke diferensiasi, maka anak
memiliki kemampuan untuk menggerakan anggota tubuhnya ke arah yang lebih baik.
Ketika orang tua melambaikan tangannya. Sampai pada batas-batas tertentu,
perkataan orang tua dapat dimengerti oleh anak. Oleh karena itu, perintah orang
tua dengan mempergunakan kalmiat yang sangat sederhana dapat dilaksanakan oleh
anak dengan baik. Isyarat non verbal seperti marah dapat menghentikan anak
untuk mengerjakan sesuatu merupakan pertana bahwa anak dapat memberikan
tanggapan secara tepat atas rangsangan yang diberikan orang tua. Oleh karena
itu, orang tua tampaknya harus lebih positif dan kreatif untuk memberikan
rangsangan kepada anak, sehingga kepekaan anak atas rangsangan yang diberikan
semakin membaik.
2. Model
Interksional
Model interaksional ini berlawanan dengan
model S-R. sementara model SR mengasumisikan manusia adalah pasif. Model
interaksional menganggap manusia jauh lebih aktif. Komunikasi di sini
digambarkan sebagai pembentukan makna, yaitu penafsiran atas pesan atau
perilaku orang lain oleh para peserta komunikasi. Beberapa konsep penting yang
digunakan adalah diri sendiri, diri orang lain, symbol, makna, penafsiran, dan
tindakan.
Interaksi yang terjadi karena individu
tidak sepihak. Antar individu saling aktif, reflektif, dan kreatif dalam
memaknai dan menafsirkan pesan yang dikomunikasikan. Semakin cepat memberikan
pemaknaan dan penafsiran terhadap pesarn yang disampaikan semakin lancar
kegiatan komunikasi. Namun hal itu tidak mudah, karena tidak setiap individu
memiliki kemampuan untuk melakukannya karena factor kebahasaan, enath bahasa
verbal atau bahasa tubuh. Dalam komunikasi individu yang satu tidak bias
memaksakan kehendaknya kepada individu atau kelompok lainnya melakukan
pemakaman dan penafsiran secara tepat terhadap pesan yang disampaikan. Oleh karena
itu, interaksi antar individu atau kelompok dapat berlangsung dengan lancar
jika pesan yang disampaikan dapat dimaknai dan ditafsirkan secara tepat.
Dalam keluarga interaksi terjadi dalam
macam-macam bentuk mengawali interaksi tidak mesit dari orang tua kepada anak,
tetapi bisa juga sebaliknya, dari anak kepada orang tua, atau dari anak kepada
anak. Semuanya aktif, relflektif, dan kreatif dalam interaksi. Suasana keluarga
aktif dan dinamis dalam kegiatan perhubungan. Susana dialogis lebih terbuka, karena
yang aktif menyampaikan pesan tertentu tidak hanya dari orang tua kepada anak,
tetapi juga dari anak kepada orang tua atau dari anak keapda anak. (Djamarah,
2004:38-42).
Komunikasi efektif mensyaratkan bahwa
orang tua (sebagai sumber) harus berupaya agar pesan yang diutarakannya
benar-benar mengena dan membuat anak tertarik. Ketertarikan ini akan
menumbuhkan minat anak untuk belajar dan mengembangkan potensi pribadinyau.
Seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan baik jika berpikir bahwa dia mampu
untuk melakukannya. Sebaliknya, akan gagal jika berpikir bahwa dia akan gagal
melakukannya. Dan apa yang dipikirkan anak ini sangat bergantung pada kekuatan
komunikasi yang disampaikan oleh orang tua. Kekuatan komunikasi orang tua bisa
muncul karena kekekuatan kemampuan orang tua dalam memahamai anak. Cara orang
tua menjalin kedekatan dengan anak, dan sebagainya. Kekuatan pesan yang
disampaikan mengandung pengertian bagaimana pesan yang disampaikan orang tua
mampu membangkitkan ketertarikan dan minat anak.
Faktor utama pesan yang menarik adalah
penggunaan ungkapan-ungkapan yang sangat dikenal dan sesuai dengan karakter
anak. Orang tua dapat merangkai cerita-cerita dengan mengatikannya dengan
pengalaman pribadi anak, memberikan pertanyaan, atau suasana cerita yang
dibangun. Berbagai alat peraga, buku-buku yang menarik dapat menambah
ketertarikan anak, terhadap materi yang diajarkan. (Ekomadyo, 2005 : 21).
2.1.5.
Konsep
Bimbingan Guru
Proses pendidikan dapt dilakuan melalui
tiga bentuk kegiatan, yaiu bimbingan, pengajaran, dan latihan. Melalui proses
bimbingan anak dibantu untuk dapat mengembangkan berbagai aspek kemampuan yang
dimilikinya, dan bilamana anak mengalami kesulitan atau hambatan dalam proses
perkembangannya, maka layanan bimbingan juga perlu membantu agar permasalahan
yang dihadapai tidak menghambat proses
tumbuh kembang anak. Kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan dalam
pelaksanaanya tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi kegaitan ini dilakukan
secara terintegrasi yang bermuara pada tercapainya penyiapan anak didik yang
bermutu. Terintegrasi dalam pemahaman di atas dimaksudkan bahwa kegiatan
bimbingan, pengajaran dan latihan dilaksankan secara bersama-sama dan saling
melengkapi untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. (Ernawulan, 2005:54)
Bimbingan sebagai suatu proses,
mengandung arti bahwa bimbingan bukanlah merupakan suatu kegiatan sesaat
melainkan melibatkan berbagai tindakan yang bersifat terencana, sistematis dan
berkelanjutan. Pemberian bantuan dalam arti bimbingan mengandung arti bahwa
guru atau pembinging bukan mengambil alih masalh dan tugas serta tanggung jawab
pemecahannya dari anak didik, melainkan mengembangkan lingkungan yang kondusif,
dan mendorong individu untuk mengubah perilaku dan mampu menerima tanggung
jawab, sehingga individu mampu memecahkan masalahnya sendiri.
Bantuan diberikan kepada individu dalam
arti individu yang sedang berada dalam proses perkembangan, baik perkembangan
fisik, intelektual, social maupun emosi. Sementara bantuan yang diberika
dimaksudkan agar individu dapat berkembang secara optimal yaitu tercapainya
proses perkembangan yang sesuai dengan karakteristik dan kemampuan yang
dimiliki oleh masing-masing individu.
Secara umum layanan bimbingan di
sekolah-sekolah bertujuan untuk membantu anak didik agar dapat mengenal dirinya
dan lingkungan terdekatnya sehingga dapat menyesuaikan diri melalui tahap
peralihan dan kehidupan di sekolah dan masyarakat sekitar anak.
Secara khusus layanan bimingan ini
bertujuan untuk : (1) membantu anak lebih mengenal dirinya, kemampuannya,
sifat-sifatnya, kebiasaanya dan ksenangannya, (2) membantu agar dapat
mengembangkan potensi yang dimilikinya, (3) membatnu anak mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapinya, (4) membantu menyiapkan perkembangan mental dan social anak
untuk masuk ke lembaga pendidikan selanjutnya, (5) membantu orang tua agar
mengerti, memahami dan menerima anak sebagai individu, (6) membantu orang tua
dalam mengatasi gangguan emosi anak yang ada hubungannya dengan situasi
keluarga di rumah, (7) membantu orang tua mengambil keputusan memilih sekolah
bagi anaknya yang sesuai dengan taraf kemampuan intelektual, fisik dan
inderanya, (8) member informasi pada orang tua untuk memecahkan masalah
kesehatan anak. (Ernawulan, 1999:51)
Sejalan dengan pemikiran Erwin R.
Cerler, (1982) mengemukakan bahwa sekarang ini proses pendidikan lebih mengacu
pada kegiatan yang bersifat kognitif dari pada kegiatan yang bersifat efektif
yang melibatkan perasaan. Sedangkan secara persuasive telah terbukti bahwa
murid yang melibatkan perasaan. Sedangkan secara persuasive telah terbukti
bahwa murid akan memperoleh hasil belajar yang lebih baik apabila penididik
menciptakan kondisi tersebut dengan ikhlas, sungguh-sungguh disertai sikap
empati.
Model bimbingan yang berkembang saat ini
adalah bimbingan perkembanga. Visi bimbingan perkembangan bersifat edukatif,
perkembangan, dan outreach edukatif karena
titik beratnya bimbingan perkembangan ditekankan pada pencegahan dan
pengembangan. Sasaran bimbingan perkembangan adalah perkembangan optimal
seluruh aspek kepribadian individu dengan strategi upaya pokoknya memberikan
kemudahan perkembangan melalui perekayasaaan lingkungan perkembangan. Untuk
mencapai tujuan bimbingan adalah mengenal dan memahami potensi, kekuatan, serta
tugas-tugasnya, mengenal dan memahami potensi-potensi yang ada di
lingkungannya, mengenal dan menentukan tujuan rencana hidupnya, serta rencana
pencapaian, menggunkana kemampuan untuk kepentingan dirinya lembaga tempat
kerja dan masyarakat, menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari
lingkungan, mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara
tepat teratur dan optimal. (Nurihsan,2006:8)
2.1.6.
Konsep
Motivasi Belajar
2.1.6.1.
Pengertian
Motivasi
Terdapat beberapa pengertian tentang
motivasi, yaitu berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya upaya
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai
daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas –
aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan
sebagai kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata motif “motif” itu,
maka motivasi dapat diartikann sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif.
Motif menjadi aktif pada saat – saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk
mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak.
Menurut Mc. Donald dalam sardiman A.M
(2011 : 73-74), motivasi adalah perubahan energy dalam diri seseorang yang
ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan adanya
tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald tersebut mengandung
tiga elemen penting, yaitu :
a) Bahwa
motivasi mengawali terjadinya perubahan energy pada diri setiap individu
manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energy di dalam
system “neurophysiological” yang ada pada organism manusia. Karena menyangkut
perubahan energy manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri
manusia), penampakkannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia.
b) Motivasi
ditandai dengan munculnya, rasa/feeling, afeksi seseorang. Dalam hal ini
motivasi relevan dengan persoalan – persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang
dapat menentukan tingkah laku manusia.
c) Motivasi
akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya
merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari
dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/ terdorong oleh
adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini menyangkut soal
kebutuhan.
Dengan ketiga elemen di atas, maka dapat
dikatakan bahwa motivasi itu sebagai suatu yang kompleks. Motivasi akan
menyebabkan terjadinya suatu perubahan energy yang ada pada diri manusia,
sehingga akan bergelut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga
emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Semua ini didorong
karena adanya tujuan kebutuhan dan keinginan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, apabila
ada seseorang siswa, misalnya tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan
maka perlu diselidiki sebab-sebabnya. Sebab – sebab itu biasanya bermacam –
macam, mungkin tidak ada perhatian orang tuanya/gurunya, mungkin sakit, ada
problem pribadi dan lain – lain. Hal ini berarti pada diri anak tidak terjadi
perubahan energy, tidak terangsang afeksinya untuk melakukan sesuatu, karena ia
tidak memiliki tujuan atau kebutuhan untuk belajar. Keadaan semacam ini perlu
dilakukan daya upaya yang dapat menemukan sebab-musababnya kemudian mendorong
siswa itu mau melakukan pekerjaanya yang seharusnya dilakukan, yakni belajar.
Dengan kata lain, siswa perlu diberikan rangsangan agar tumbuh motivasi
dirinya. Atau singkatnya siswa perlu diberikan motivasi.
Kemudian persoalan motivasi ini, dapat
juga dikaitkan dengan persoalan minat. Minat dapat diartikan sebagai suatu
kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri – ciri atau arti sementara
situasi dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya
sendiri. Oleh karena itu, apa yang dilihat seseorang sudah tentu akan
membangkitkan minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai hubungan dengan
kepentinganya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa minat merupakan kecenderungan
jiwa seorang kepada seseorang (biasanya disertai dengan perasaan senang),
karena itu merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu. Bahkan menurut Benard,
minat timbul tidak secara tiba – tiba / spontan, melainkan timbul akibat dari
adanya partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar maupun bekerja.
Jadi jelas bahwa soal minat akan selalu berkait dengan soal kebutuhan atau keinginan. Oleh karena itu, yang penting
bagaimana menciptakan kondisi tertentu agar siswa itu selalu butuh dan ingin
terus belajar.
2.1.6.2.
Kebutuhan
dan Teori Tentang Motivasi
Memberikan motivasi kepada seorang
siswa, berarti menggerakkan siswa untuk melakukan sesuatu atau ingin melakukan
sesuatu. Pada tahap awalnya akan menyebabkan si subjek belajar merasa ada
kebutuhan dan ingin melakukan sesuatu kegiatan belajar.
Menurut Morgan dan ditulis oleh S.
Nasution dalam buku Sardiman A.M (2011 : 78), manusia hidup dengan memiliki
berbagai kebutuhan, diantaranya :
1) Kebutuhan
untuk berbuat sesuatu untuk aktivitas
Hal ini sangat penting bagi anak, karena
perbuatan sendiri itu mengandung suatu kegembiraan baginya. Sesuai dengan
konsep ini, bagi orang tua yang memaksa anak untuk diam dirumah saja adalah
bertentangan dengan hakikat anak. Activites
in it self is pleasure. Hal ini dapat dihubungkan dengan suatu kegiatan
belajar bahwa pekerjaan atau belajar itu akan berhasil kalau disertai dengan
rasa gembira.
2) Kebutuhan
untuk menyenangkan orang lain
Banyak orang yang dalam kehidupannya
memiliki motivasi untuk banyak berbuat sesuatu demi kesenangan orang lain.
Harga diri seseorang dapat dinilai dari berhasil tidaknya usaha memberikan
kesenangan pada orang lain. Hal ini sudah barang tentu merupakan kepuasan dan
kebahagiaan tersendiri bagi orang yang melakukan kegiatan tersebut. Konsep ini
dapat diterapkan pada berbagai kegiatan, misalnya anak – anak itu rela bekerja
atau para siswa itu rajin/rela belajar apabila diberikan motivasi untuk
melakukan sesuatu kegiatan belajar untuk orang yang disukainya (misalnya
bekerja, belajar demi orang tua, atau orang yang sudah dewasa akan bekerja,
belajar demi seseorang calon teman hidupnya).
3) Kebutuhan
untuk mencapai hasil
Suatu pekerjaan atau kegiatan belajar
itu akan berhasil baik, kalau disertai dengan pujian. Aspek tujuan ini
merupakan dorongan bagi seseorang untuk bekerja dan belajar dengan giat.
Apabila hasil pekerjaan atau usaha belajar itu tidak dihiraukan orang lain/guru
atau orang tua misalnya, boleh jadi kegiata anak menjadi berkurang. Dalam
kegiatan belajar mengajar istilahnya perlu dikembangkan unsur reinforcement.
Pujian atau reinforcement ini harus selalu dikaitkan dengan prestasi yang baik.
Anak – anak harus diberi kesempatan seluas – luasnya untuk melakukan sesuatu
dengan hasil yang optimal, sehingga ada sense
of success. Dalam kegiatan
belajar-mengajar, pekerjaan atau kegiatan itu harus dimulai dari yang
mudah/sederhana dan bertahap menuju sesuatu yang semakin sulit/kompleks.
4) Kebutuhan
untuk mengatasi kesulitan
Suatu kesulitan atau hambatan, mungkin
cacat, mungkin menimbulkan rasa rendah diri, tetapi hal ini menjadi dorongan
untuk mencari kompensasi dengan usaha yang tekun dan luar biasa, sehingga
tercapai kelebihan/ keunggulan dalam bidang tertentu. Sikap anak terhadap
kesulitan atau hambatan ini sebenarnya banyak tergantung pada keadaan dan sikap
lingkungan. Sehubungan dengan ini maka peranan motivasi sangat penting dalam
upaya menciptakan kondisi – kondisi tertentu yang lebih kondusif bagi mereka
untuk berusaha agar memperoleh keunggulan.
Teori tentang motivasi ini lahir dari
awal perkembanganya ada dikalangan para psikolog. Menurut ahli ilmu jiwa,
dijelaskan bahwa dalam motivasi itu ada sesuatu hierarki, maksudnya motivasi
itu ada tingkatan-tingkatannya, yakni dari bawah ke atas. Dalam hal ini ada
beberapa teori tentang motivasi yang selalu bergaya dengan soal kebutuhan,
yaitu :
a. Kebutuhan
fisiologis, seperti lapar, haus, kebutuhan untuk istirahat, dan sebagainya ;
b. Kebutuhan
akan keamanan (security), yakni rasa aman, bebas dari rasa takut dan kecemasan
;
c. Kebutuhan
akan cinta dam kasih : kasih, rasa diterima dalam suatu masyarakat atau
golongan (keluarga, sekolah, kelompok) ;
d. Kebutuhan
untuk mewujudkan diri sendiri, yakni mengembangkan bakat dengan usaha mencapai
hasil dalam bidang pengetahuan, social, pembentukan pribadi.
Dengan istilah lain, kebutuhan untuk
berusaha kearah kemandirian dan aktualisasi diri. Sesuai dengan kebutuhan itu
Maslow menciptakan piramida hierarki kebutuhan yang lengkap yang dilukiskan
pada gambar berikut ini :
Dari gambar diatas bahwa setiap tingkat diatas
hanya dapat dibangkitkan apabila telah dipenuhi tingkat motivasi dibawahnya.
Bila guru menginginkan siswanya belajar dengan baik, maka harus dipenuhi
ringkat yang terendah sampai yang tertinggi. Anak yang lapar, merasa tidak
aman, tidak dikasihi, tidak diterima sebagai anggota masyakat kelas, goncang
harga dirinya, tentu terjadi tidak akan dapat belajar dengan baik.
Disamping itu, terdapat teori-teori
motivasi lain, antara lain :
1. Teori
Insting
Menurut teori ini tindakan setiap diri
manusia diasumsikan seperti tingkah jenis binatang. Tindakan manusia itu
dikatakan selalu berkait dengan insting atau pembawaan. Dalam memberikan respon
terhadap adanya kebutuhan seolah-olah tanpa dipelajari. (Mc. Douglas dalam
Sardiman A.M, 2011 : 82)
2. Teori
fisiologis
Teori ini juga disebutnya “Behaviour
theoris”. Menurut teori ini semua tindakan manusia itu berakar pada usaha memenuhi kepuasan dan
kebutuhan organic atau kebutuhanuntuk kepentingan fisik. Atau disebut sebagai
kebutuhan primer, seperti kebutuhan tentang makanan, minuman, udara dan lain –
lain yang diperlukan untuk kepentingan tubuh seseorang. Dari teori ini muncul
perjuangan hidup, perjuangan untuk mempertahankan hidup, struggle for survival.
3. Teori
Psikoanaltik
Teori ini mirip dengan teori insting,
tetapi lebih ditekankan pada unsure-unsur kejiwaan yang ada pada diri manusia.
Bahwa setiap tindakan manusia Karena adanya unsur pribadi manusia yakni id dan
ego.
Selanjutnya untuk melengkapi uraian
mengenai makna dan teori tentang motivasi itu, perlu dikemukakan adanya
beberapa ciri motivasi. Motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Tekun
menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak
pernah berhenti sebelum selesai).
b. Ulet
menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari
luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang
telah dicapai).
c. Menunjukkan
minat terhadap bermacam – macam masalah untuk orang dewasa (misalnya masalah
pembangunan agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentang
terhadap setiap tindak criminal, amoral dan sebagainya)
d. Lebih
senang bekerja mandiri
e. Cepat
bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis,
berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif)
f. Dapat
mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu)
g. Tidak
mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
h. Senang
mencari dan memecahkan masalah soal – soal.
2.1.6.3.
Fungsi
Motivasi dalam Belajar
Dalam menentukan hasil belajar yang
optimal, terdapat tiga fungsi motivasi, yaitu :
1. Mendrong
manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan
energy. Motor dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang
akan dikerjakan.
2. Menentukan
arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian
motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan
rumusan tujuannya.
3. Menyeleksi
perbuatan, yakni menentukan perbuatan – perbuatan apa yang harus dikerjakan
yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan – perbuatan yang
tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang siswa yang akan menghadapi
ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan
tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komk, sebab
tidak serasi dengan tujuan.
Seseorang melakukan suatu usaha karena
adanya motivasi. Adanya yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang
baik. Dengan kata lain, adanya usaha yang tekun dan terutama didasai adanya
motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang
baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat prestasi
belajarnya.
Mcam atau jenis motivasi dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, motivasi atau motif-motif yang
aktif itu sangat bervariasi.
1. Motivasi
dapat dilihat dari dasar pembentukannya
a. Motif-motif
bawaan
Yang dimaksud dengan
motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa
dipelajari. Sebagai contoh misalnya : dorongan untuk makan, dorongan untuk
minum, dorongan untuk bekerja, untuk beristirahat dan dorongan seksual.
b. Motif-motif
yang dipelajari
Maksudnya motif-motif
yang timbul karena dipelajari. Sebagai contoh : dorongan untuk belajar suatu
cabang ilmu pengetahuan, dorongan untuk mengajar sesuatu di dalam masyarakat.
2. Jenis
motivasi menurut pembagian dari Woodworth dan Marquis
a. Motif
atau kebutuhan organis, meliputi misalnya kebutuhan untuk minum, makan,
bernapas, seksual, berbuat dan kebutuhan beristirahat.
b. Motif-motif
darurat. Yang termasuk dalam jenis motif ini antara lain : dorongan untuk
menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk memburu.
Jelasnya memotivasi jenis ini timbul karena rangsangan dari luar.
c. Motif-motif
objektif. Dalam hal ini menyangkut kebutuhan untuk melakukan eksplorasi,
melakukan manipulasi, untuk menaruh minat. Motif-motif ini muncul karena
dorongan untuk dapat menghadapi dunia luar secara afektif.
3. Motivasi
Jasmani dan Rohaniah
Ada beberapa ahli yang
menggolongkan jenis motivasi itu menjadi dua jenis yakni motivasi jasmaniah dan
motivasi rohaniah. Yang termasuk motivasi jasmaniah seperti misalnya reflex,
insting otomatis, nafsu. Sedangkan yang termasuk motivasi rohaniah adalah
kemauan.
Soal kemauan itu ada pada setiap diri
manusia terbentuk melalui empat momen, yaitu :
a. Momen
timbulnya alas an
b. Momen
pilih
c. Momen
putusan
d. Momen
terbentuknya kemauan
4. Motivasi
instrik dan ekstrinsik
a. Motivasi
intrinsik
Yang dimaksud dengan
motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya
tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada
dorongan untuk melakukan sesuatu.
b. Motivasi
ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah
motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.
2.1.6.4.
Bentuk
– bentuk Motivasi di Sekolah
Di dalam kegiatan belajar-mengajar
peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Dengan
motivasi, pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat
mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar.
Dalam kaitan itu perlu diketahui bahwa
cara dan jenis menumbuhkan motivasi adalah bermacam – macam. Tetapi untuk
motivasi ekstrinsik kadang-kadang tepat, dan kadang-kadang juga kurang sesuai.
Hal ini guru harus hati – hari dalam menumbuhkan dan memberi motivasi bagi
kegiatan belajar para anak didik.
Sebab mungkin maksudnya member motivasi
tetapi justru tidak menguntungkan perkembangan belajar siswa.
Ada beberapa cara bentuk dan cara untuk
menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah :
1) Memberi
angka
2) Hadiah
3) Saingan
/ kompetisi
4) Ego-involvement
5) Memberi
ulangan
6) Mengetahui
hasil
7) Pujian
8) Hukuman
9) Hasrat
untuk belajar
10) Minat
11) Tujuan
yang diakui
2.2
Kerangka
Pemikirian
Belajar mengandung arti bahwa kegiatan
yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang menghasilkan perubahan tingkah
laku pada dirinya sendiri, baik dalam bidang pengetahuan, ketrampilan, maupun
dalam bentuk sikap dan nilai positif.
Perubahan yang terjadi pada diri siswa
pada pokoknya adalah di dapatkan dari kemauan baru yang terjadi karena adanya
suatu usaha untuk menambah penguasaan serta pengalaman belajar, sehingga dapat
mencapai prestasi belajar yang diinginkan.
Dalam usaha untuk mencapai hasil belajar
yang maksimal, dibutuhkan peran serta orang tua untuk membimbing dan
mendidiknya agar menjadi manusia yang mempunyai budi pekerti yang luhur.
Tentunya orang tua sebagai pihak yang utama dalam lingkungan keluarga harus
dapat mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan anaknya.
Seorang anak akan dapat memberikan respon yang positif atas apa yang telah
diterimanya baik berupa teguran maupun informasi dari orang tuanya apabila
orang tuanya memberikan perhatian yang lebih.
Komunikasi yang baik akan dapat
menimbulkan dampak / pengaruh terhadap psikologi anak untuk merubah tingkah
lakunya yang dahulunya bermalasan dalam belajar menjadi rajin dalam belajarnya.
Namun ketika seorang anak sudah berada
dalam lingkungan sekolah, bukan berarti orang tua lepas dari tanggung jawabnya.
Diperlukan kerjasama antara pihak sekolah yang dalam hal ini adalah guru yang
bertugas pembimbing dan pengajar. Bimbingan guru sangat diperlukan bagi siswa,
karena hal ini akan dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih giat lagi.
Motivasi yang diperlukan oleh seorang
siswa adalah diwujudkan oleh adanya perhatian baik yang diberikan oleh orang
tuanya maupun gurunya. Selain itu, motivasi tidak hanya bersifat sementara akan
tetapi harus ditumbuhkan secara kontinyu, agar siswa dapat mengembangkan bakat
dan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan yang dikuasainya.
Oleh karena itu, peran orang tua dalam
mengkomunikasikan sesuatu terhadap anaknya dan dengan adanya bimbingan oleh
guru ketika berada dalam lingkungan sekolah dapat memberikan kontribusi
motivasi bagi siswa untuk lebih meningkatkan kegiatan belajarnya.
Untuk lebih jelasnya penulis gambarkan
bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :
Pola
Komunikasi Orang Tua (X1)
|
Bimbingan
Guru
(X2)
|
Motivasi
Belajar
(X3)
|
Prestasi
Belajar Siswa (Y)
|
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Populasi
dan Sampel
3.1.1
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah
kelas XII IPA 1-6 di SMA N 1 Indramayu Kabupaten Indramayu dengan berjumlah 140
siswa.
3.1.2
Sampel
Sampel dalam penelitian ini berjumlah 50
siswa yang diambil sebanyak 36% dari seluruh siswa berjumlah 140 siswa. Teknik
ini memakai teknik random sampling. Berdasarkan ketentuan, bila populasi lebih
dari 100 orang, maka sampelnya bisa diambil antara 10%-15% atau 20%-25% atau
lebih, sedangkan jika subyek populasi yang ada, Suharsimi Arikunto (1993 :
107).
n
= N x 36%
|
3.2
Instrumen
Pengumpulan Data
Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik probability sampling menurut Sugiyono (2004 :
74) “Probability Sampling” adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan
peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota populasi) untuk dipilih menjadi
anggota sampel.
3.3
Teknik
Analisis Data
3.3.1
Uji
Validitas
Uji validitas dilakukan terhadap
instrument agar data yang diperoleh dapat menjamin tingkat representasi
terhadap kondisi yang sebenarnya dari simpulan-simpulan penelitian dalam
menganalisis data.
Dalam hal ini Sugiyono (2000 : 135)
menyatakan bahwa “Biasanya syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah
r=0,3”. Sehingga item yang nilai korelasinya dibawah 0,3 tidak dianggap valid.
Adapun formula perhitungannya adalah
sebagai berikut :
(Riduwan, 2006 : 110)
Keterangan :
rhitung : Koefisien korelasi
(∑X) : Jumlah skor item
(∑Y) : Jumlah skor total (seluruh item)
n : Jumlah responden
Uji validitas dilakukan
dengan menggunakan taraf nyata α = 0,05 dan α = 0,10 diluar taraf nyata
tersebut item angket dinyatakan tidak valid.
3.3.2
Uji
Realibilitas
Instrument yang baik
harus memiliki nilai ketepatan, keakuratan, dan konsistensi yang tinggi dalam
mengungkap suatu gejala tertentu dari sekelompok individu walaupun dilaksanakan
dalam waktu yang berbeda. Hal tersebut dinamakan realibilitas instrument.
Adapun formula yang
digunakan untuk menguji realibilitas data adalah sebagai berikut :
3.3.3
Analisa
Regresi
Analisa regresi linear
berganda digunakan untuk mengukur pengaruh langsung antara variable independent yaitu Pola Komunikasi Orang
Tua (X1), Bimbingan Guru (X2), Motivasi Belajar (X3)
terhadap variable Prestasi Belajar Siswa (Y) sebagai variable Independent.
Bentuk persamaan dari
variable tersebut adalah sebagai berikut:
Y
= a + b1X1+ b2X2+ b3X3+e
(Sugiyono, 2005 : 250)
Keterangan :
Y : Prestasi
Belajar (Y)
a : Konstanta
regresi
b1 : Koefisien
Regresi X1
b2 : Koefisien
Regresi X2
b3 : Koefisien
Regresi X3
X1 : Pola
Komunikasi Orang Tua
X2 : Bimbingan
Guru
X3 : Motivasi
Belajar
e : Faktor
Pengganggu
3.3.4
Analisis
Korelasi
Korelasi Pearson
Product Moment dilambangkan dengan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih
dari harga (-1≤ r ≤ 1).
Dengan demikian maka :
a)
Jika nilai r = -1 artinya korelasinya
negative sempurna, dimana hubungan Variabel Independent dengan Variabel
Dependent Negative, semakin mendekati nilai -1 korelasi negative sangat kuat.
b)
Jika r = 0 artinya tidak ada korelasi.
c)
Dan jika r = 1 artinya korelasinya sangat
kuat, dimana hubungan Variabel Independent dengan Variabel Dependent Positif,
semakin mendekati nilai 1 korelasi sangat kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu.
(2000). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipt.
Arikunto, Suharsini, 1993. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Bina Aksara.
Asrori, M.
(2007). Psikoliogis Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
Cangra, H.
(2000). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djamarah, Syeful, B. (2004). Pola
Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta
Djumhur I, dan Surya, Moh. (1975). Bimbingan
dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung:
CV. Ilmu.
Effendy, Onong, U. (1999). Ilmu
komunikasi dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ekomadyo, Junita I. (2005). Prinsip
Komunikasi Efektif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Mohamad Surya, Prof. Dr. H, 2004, Psikologi
Pembelajaran dan Pengajaran, Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Sardiman AM, 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar,
Jakarta: Raja Grafindo
Slameto, 1995. Belajar dan Faktor-faktor.
0 comments:
Post a Comment