Category

Welcome Guys

Pages

Send Quick Massage

Name

Email *

Message *

ads

Saturday, October 10, 2015

MAKALAH Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa Di Bidang Pelayanan Medis (Suatu Tinjauan dari Sudut Hukum Perdata)

by Unknown  |  in Makalah at  7:04 PM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju avau mundumya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah sakit diharapkan mampu memahami konsvmennya secara keseluruhan agar dapat maju dan berkembang.
Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri. Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan etika profesi masing-masing (Benyamin Lumenta, 1,989).
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant, sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untnk melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.
Pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”. (Benyamin Lumenta, 1989). Sudah merasa bahagia apabila kepadanya dkuliskan secarik kertas. Dari resep tersebut secarc. implisjt telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritar bidang ilmu yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi semakin bertambah kuat karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga dokter, sehingga kedudukannya merupakan suatu monopoli baginya dalam memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan. Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan kesehatan ini merupakan psikologis pihak-pihak yang saling mengikatkan diri tidak berkedudukan sederajat.
Tenaga kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan tindakan medis. Dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini ttntu saja sangat merugikan bagi pihak pasien. Dari kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap pasien, menimbulkan pertanyaan, yaitu; adakah perlindungan hukum terhadap pasien, dapatkah pasien yang dirugikan menuritut ganti rugi, dan siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji persoalan mengenai “Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Kor.sumen Jasa Di Bidang Pelayanan Medis (Suatu Tinjauan dari Sudut Hukum Perdata)”

B.     Rumusan Masalah
Di dalam penulisan makalah ini sesuai dengan judul yang diketengahkan maka timbul beberapa masalah yang dianggap perlu untuk mendapatkan penyelesaian atau pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Adakah perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan di bidang medis
2.      Dapatkah pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa pelayanan medis menuntut ganti rugi, dan apa dasamya
3.      Siapakah yang harus bertanggung jawao atas /kerugian yang menimpa pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis dimaksud

C.    Pembatasan Masalah
Sesuai dengan lingkup masalah yang telah ditentukan maka untuk menghindari agar jangan sampai timbul suatu pembahasan yang nantinya keluar dari pokok permasalahan dalam kaitannya dengan judul yang telah dipilih tersebut, maka untuk itu fokus pembahasan masalah dalam makalah ini hanya disekitar perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis ditinjau dari segi hukum perdata yang dititik beratkan pada tanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien.

Dalam penulisan makals sebagai suatu penulisan ilmiah haruslah mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan di bidang medis
2.      Mengetahui pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa pelayanan medis menuntut ganti rugi, dan apa dasamya
3.      Mengetahui siapakah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis dimaksud

Dalam suatu peristiwa yang mana mengakibatkan kerugian terhadap seseorang, maka sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan mengganti kerugian. Seseorang dalam hal ini korban, dari tindakan tersebut mengalami kerugian baik material maupun moril sehingga adalah sudah wajar kiranya kalau mereka yang dirugikan tersebut mendapat imbalan bempa ganti rugi dari pihak yang merugikan.
Dalam menentukan pertanggung jawaban suatu tindakan yang mana salah satu pihaknya dirugikan (konsumen), maka pihak korban dapat memperoleh sejumlah ganti kerugian yang sepantasnya guna pembiayaan kerugian yang telah dideritanya. Hal tersebut terjadi sehubungan dengan adanya suatu resiko yang harus, diterima dan tidak dapat dibalikkan kepada orang lain, sebab dengan terjadinya kesalahan yang menimbulkan korban, tidak terlepas dari kerugian yang ditimbulkan. Sehingga, pada pihak penimbul kerugian wajib untuk memberikan sejumlah ganti kerugian pada korbannya. “Menurut hukun yang berlaku menyebutkan bahwa si pelaku perbuatan berkewajiban memberi ganti kerugian pada seorang penderita kerugian” (Chrisdiono Achadiat, 1996).
Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis ada ketentuan yang mengatur. Pada dasamya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum bagi konsumen dapat dijumpai pasal 1365 KUH Perdata. Disamping itu pasal 1365 KUH Perdata berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”.
Di dalam UU RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan disebutkan jjga perlindungan terhadap pasien, yaitu pasal 55 yang berisikan ketentuan antara Inin sebagai berikut:
(1)        Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
(2)        Ganti rugi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat yang pemanen. Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat seseorang. Dalam Undang- undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang konsumen.
Perlindungan hukum di bidang keperdataan menganut prinsip bahwa “barang siapa merugikan orang lain, harus memberikan ganti rugi” (Danny Wiradharma, 1996). Jika seseorang merasa dirugikan oleh warga masyarakat lain, tentu ia akan menggugat pihak lain itu agar bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah terdapat hubungan hukum berupa perjanjian di lapangan hukum keperdataan, tetapi dapat pula sebaliknya, sama sekali tidak ada hubungan hukum demikian.
Jika seseorang sebagai konsumen melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cedera janji). Apabila sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum. Dari ketentuan tersebut diberikan kesempatan untuk menggugat sepanjang terpenuhi empat unsur, yaitu terjadi perbuatan melawan hukum, ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau tergugat), ada kerugian (yang diderita si penggugat) dan ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian itu. Apabila terdapat kesalahan/kelalaian dari tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter, perawat atau asisten lainnya), dalam hal ini dari pihak konsumen yang menderita kerugian dapat menuntut ganti rugi. Dari kerugian yang di alami oleh konsumen, dalam hal iai mungkin tidak sedikit atau bisa juga dari kerugian tersebut berakibat kurang baik bagi konsumen. Seseorang dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya (liable), kalau dia melakukan kelalaian/kesalahan dan kesalahan/kelalaian. itu menimbulkan kerugian.
Orang yang menderita kerugian akibat kelalaian/kesalahan orang itu, berhak untuk menggugat ganti rugi (Djamali. dan Terja Permana, 1988). Begitu pula terhadap kerugian yang dialami pasien dalam pelayanan medis, pasien dalam hal ini dapat menuntut ganti rugi atas kesalahan ataupun kelalaian dokter ataupun tenaga medis lainnya. Mengenai tuntutan ganti kerugian secara perdata menurut pasal 1365 KUH Perdata, pelaku harus mengganti kerugian sepenuhnya (Gunawan Widjaya dan Yani Ahmad, 2000). Akan tetapi terdapat juga suatu ketentuan hukum yang menentukan bahwa apabila kerugian ditimbulkan karena kesalahan sendiri, ia harus menanggung kerugian tersebut. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak yang dirugikan cukup membuktikan bahwa kerugian yang diderita adalah akibat perbuatan pelaku.
Menurut Van Gelein Vitringa dengan teori Schutznem, dinyatakan bahwa : “Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya melanggar suatu norma hukum, hanya wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan, apabila norma yang dilanggar bertujuan melindungi kepentingan orang yang dirugikan'' (Guwandi, 1993).
Menurut Pasal 1366 KUH Perdata, berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”. Dasar tuntutan dari pihak pasien (konsumen) juga dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yaitu pasal 55. Dari ketentuan pasal tesebut maka dari pihak paramedis diharuskan berhati hati di dalam melakukan tindakan medis yang mana dari pihak pasien mempercayakan sepenuhnya akan tindakan tersebut.
Jika kembali kepada asas hukum dalam hukum perdata dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merupakan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Dalam konsep dan teori dalam ilmu hukum (Hermien Hadiati dan Keoswadji, 1984), perbuatan yang merugikan tersebut dapat lahir karena :
(1)            Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang pada umumnya dikenal dengan istilah wan-prestasi); atau
(2)            Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau yang dikenal dengan perbuatan melawan hukum)
Dalam perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa yang mana merasa dirugikan oleh dokter ataupun pihak rumah sakit, dan tindakan tersebut menimbulkan suatu kerugian yang tidak sedikit ataupun dari tindakan tersebut menimbulkan kematian, maka dalam hal ini si pelanggar hukum masih tetap berwajib memberi ganti rugi (Jusuf Hanafiah dan Amir Amri, 1999). Dari wujud ganti kerugian tersebut bertujuan untuk memperbaiki keadaan, dan dari pengganti kerugian kebanyakan besar berupa sejumlah uang.
Pengganti kerugian tersebut harus dinilai menurut kemampuan maupun kedudukan dari kedua belah pihak dan harus pula disesuaikan dengan keadaan. Ketentuan yang paling akhir ini pada umumnya berlaku dalam hal memberikan ganti kerugian yang diterbitkan dari suatu perbuatan melawan hukum terhadap pribadi seseorang (Leenen dan Lamintang, 1991). Dalam hal pertanggung jawaban atas pelayanan medis, yang mana pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut.
Tenaga Medis yang dimaksud adalah dokter, yang bekerjasama dengan tenaga profesional lain di dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada masyarakat atau pasien. Disamping perawat, tenaga profesional lain dalam bidang kesehatan dan medis, seperti ahli laboratorium dan radiologi, pendidik dan penyuluh kesehatan, penata berbagai peralatan dan perlengkapan medis, terutama dalam lembaga pelayanan seperti rumah sakit, klinik spesialis, dan praktek bersama, sangat diperlukan sebagai pendamping dokter.
Dokter juga menerlukan pembantu dalam bidang adminisrtrasi, asuransi, akuntansi, hukum dan kemasyarakatan. Lembaga yang tampak kompleks, meskipun terorganisasi rapi ini disebut “birokrasi pelayanan medis” (Moegni Djojodirjo, 1989). Jika dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian dari pihak pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit. Mengenai tanggung jawab terlebih dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter itu sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang teijadi baik sengaja ataupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Jika kesalahan yang dilakukan oleh para medis tersebut khusus dokter yang melakukan, biasanya pihak rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya. Dan dokter sebagai pelaksana tindakan juga dapat dikenakan sanksi.
Tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah sakit, ada dua tenaga yaitu ; tenaga dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Swasta. Di dalam melaksanakan tugas profesinya, baik tenaga dari PNS ataupun Swasta mempunyai perbedaan dalam tanggung jawab. Terhadap tenaga kesehatan (dokter) dari PNS yang melakukan kesalahan/kelalaiar dalam tindakan medis, biasanya dokter tersebut diberikan sanksi berupa pemindahan kerja ke instansi kesehatan lain atau pemberhentian sementara. Sedangkan terhadap dokter yang swasta, dalam hal melakukan kesalahan/kelalaian biasanya sanksi yang dijatuhkan berupa diberhentikan oleh rumah sakit tempat ia bekerja. Dan akibat dari kesalahan dokter atau paramedis lain yang menyebabkan kerugian terhadap pasien akan menjadi beban bagi pihak rumah sakit.
Pemberian sanksi juga diatur dalam ketentuan Pasal 54 (1) UU No.23/ 1992 Tentang kesehatan yaitu “terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesala'ian atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”. Mengenai tanggung jawab diatur dalam pasal 1367 KUH Perdata sebagai penjabaran lebih lanjut mengenai siapa dan apa saja yang berada di bawah tanggung jawabnya. Masalah tanggung jawab hukum perdata ini membawa akibat bahwa yang bersalah (yaitu yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain) harus membayar ganti rugi. Tanggung Jawab dilihat dari segi hukum perdata mengandung beberapa aspek, yaitu dapat ditimbulkan karena “wanprestasi”, karena perbuatan melanggar hukum, dapat juga karena karena kurang hati-hatinya mengakibatkan matinya orang dan juga karena kurang hati-hatinya menyebabkan cacat badan. Akibat perbuatan yang mengakibatkan kerugian tersebut terbawa oleh karena sifat daripada perjanjian yang terjadi antara dokter dengan pasien merupakan suatu perjanjian yang disebut “inspannings verbintenis”. Suatu peijanjian yang harus dilaksanakan dengan teliti dan penuh hati-hati (inspanning) (Setiawatv, R., 1986). Hubungan dokter dengan pasien ada juga dengan perikatan hasil, atau yang dikenal dengan “resultnat verbintenis“. Sehingga berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di depan,mi.ka perlu kiranya kepentingan pasien juga diperhatikan dengan mengadakan perlindungan terhadap korban yang menderita kerugian dari kesalahan tenaga medis dengan mempercepat proses untuk mendapatkan ganti rugi.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian dan Hak-Hak Konsumen
Berbicara mengenai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan medis, dimana terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan) dengan pasien yang merupakan konsumen jasa. Dan untuk itu, perlu diketahui apa yang diinaksud dengan konsumen. Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 (2) menyebutkan konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau memakai terakhir. Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli (Setiawan, R., 1986).
Lain halnya pendapat dari Hondius (Pakar masalah Konsumen di Belanda) menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa. Jasa adalah “setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat umuk dimanfaatkan oleh konsumen”
Mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pasal 4 menyebutkan, diantaranya :
a.           Hak atas kenyamanzn, keamanan, dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa;
b.           Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c.           hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.          hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.           hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.            hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.           hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
h.           hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mesdnya;
i.             hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari sembilan butir hak konsumen yang di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungann konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat.
Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalm penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka kt'nsumen diberikan hak untuk memilih barang dan /jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi sampai ganti rugi (Shidarta, 2000).

B.     Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Di Bidang Medis
Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa Delayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan (Shidarta, 2000).
Sebelumnya periu juga untuk diketahui akan pengertian dari pasien itu sendiri. Menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi, S.H, dalam bukunya, “Hukum Kedokteran” bahwa Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan juga adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya.
Dari sudut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga kesehatan memainkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan, misalnya dokter, tenaga kesehatan mempunyai posisi yang dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien yang awam dalam bidang kesehatan.
Pasien dalam ha. ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan, yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian pasien senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya. Keadaan demikian pada umumnya di dasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien.Situasi tersebut berakar pada dasar- dasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di dalam masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih tinggi dan terhormat.
Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin tinggi. Oleh ka rena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya terdapat kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur dalam perundan j- undangan (Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987). Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa dokter melakukati kekeliruan karena kelalaian.


C.    Pengertian dan Kategori Tenaga Kesehatan
Tenaga Kesehatan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 (1) adalah “setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 (3) yang dimaksud Tenaga kesehatan adalah “setiap orang yang mengabdikan diri daiam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Lain halnya menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1987 Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan dalam Bidang Kesehatan Kepada Daerah, disebutkan pada pasal 1, yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang memperoleh pendidikan dan/atau latihan di bidang kesehatan dalam rangka p'enyelenggaraan upaya kesehatan. Yang dimaksud dengan upaya kesehatan menurut UU No. 23 /1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 (2) upaya kesehatan adalah “setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/ atau masyarakat.
Dari pengertian Tenaga Kesehatan di atas perlu untuk diketahui katagori dari tenaga kesehatan itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 262/ Men.Kes/Per/VII/1979 Tentang ketenagaan rumah sakit pemerintahan, ada empat katagori yang dikenal, (Subekti, 1985), diantaranya :
1.      Tenaga Medis, yakni lulusan fakultas kedokteran atau kedokterran gigi dan pasca sarjana yang memberikan pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis. Kategori ini mencakup : dokter ahli, dokter umum dokter gigi, dan lain-lain
2.      Tenaga Paramedis Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi perawat kesehatan yang memberikan pelayanan perawatan paripuma, yakni : penata rawat, perawat kesehatan, bidan, perawat khusus dan lain-lain.
3.      Tenaga Paramedis Mon Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi bidang kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan penunjang, yakni : analisis, penata roentage, fioterapi, asisten analisis, asisten apoteker dan lain-lain.
4.      Tenaga Nonmedis, yakni seorang yang mendapat pendidikan ilmu pengetahuan yang tidak termasuk pendidikan pada butir 1, 2, dan 3 di atas, yaitu apoteker, pencatatan medis dan lain-lain.

D.    Pelayanan Medis dan Perlindungan Hukum
1.      Hubungan Hukum antara Pasien dengan Tenaga Kesehatan
Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum selalu menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal-balik. Hak tenaga kesehatan (dokter ataupun tenaga kesehatan lain) menjadi kewajiban pasien, dan hak pasien menjadi kewajiban tenaga kesehatan.
Hubungan tenaga kesehatan dan pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Hubungan hukum antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis) (Wiijono Prodjodikoro, 1992). Dasar dari perikatan yang berbentuk antara tenaga kesehatan, sebut saja (dokter) dengan pasien biasanya udalah perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk perikatan berdasarkan undang-undang. Apapun dasar dari perikatan antara dokter dan pasien, selalu menimbulkan hak dan kewajiban yang sama, karena dokter dalam melakukan pekerjaannya selalu berlandaskan kepada apa yang di kenal sebagai profesi dokter, yaitu pedoman dokter untuk menjalankan profesinya dengan baik.
Doktrin Hukum kesehatan menentukan ada dua bentuk perikatan, yaitu perikatan ikhtiar (inspanning verbintenis), dan perikatan hasil (resultaat verbintenis). Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan adalah ikhtiar, yaitu upaya semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, maka prestasi yang harus diberikan berupa hasil tertentu.
Menurut Hukum perdata, Hubungan dokter dan pasien dapat terjadi karena dua hal, (Yahya Harahap, 1999) yakni:
1.      Berdasarkan Perjanjian (Ius Contractu)
Disini terbentuk suatu kontrak teraupetik secara sukarela antara dokter dengan pasien berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan apabila diduga terjadi “wanprestasi”, yaitu pengingkaran atas apa yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak melakukan atau salah melakukan terhadap apa yang telah diperjanjikan.
2.      Berdasarkan Hukum (Ius Delicto)
Di sinilah berlaku prinsip barang siapa menimbulkan kerugian pada orang lain, harus memberikan ganti rugi atas kerugian tersebut. Selanjutnya perjanjian sendiri dapat dirumuskan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela oleh dua orang/lebih yang bersepakat untuk memberikan “prestasi” satu kepada lainnya.
Namun untuk sahnya suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syarat-syaratnya, yaitu sebagai berikut:
1.      Adanya kesepakatan mereka yang mengikat dirinya, yaitu bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian itu. Mereka menghendaki suatu yang sama secara timbal-balik. Tidak dianggap sah jika kesepakatan itu diberikan karena, (Subekti, R dan Tjitro Sudibyo, 1996) :
·         salah pengertian atau paksaan
·         pemerasan atau paksaan
·         adanya penipuan
Dalam hal ini pasien dengan dokter harus mempunyai kesepakatan mengenai cara penanganan apa yang tepat diberikan untuk menangani penyakit tersebut. Kepada pasien harus diberikan keterangan yang sejelas-jelasnya mengenai ha-hal yang menyangkut penyakitnya agar timbul pengertian bagi pasien sehingga pasien untuk mengambil keputusan. Setelah hal itu terpenuhi maka seorang pasien harus memberikan sejumlah uang sebagai ongkos dari usaha dokter tersebut.
2.      Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan antara dokter dan pasien. Orang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasamya orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya serta mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan mereka sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu :
a.       orang-orang yang belum dewasa
b.      mereka yang berada di bawah pengampuan
c.       orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan semua orang kepada siapa siapa undang- undang telah melarang membuat suatu perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, bahwa orang yang membuat mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum berarti, orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh bebas berbuat dengan harta kekayaannya. Dalam kontrak teraupetik, apabila pasien tidak dapat memberikan persetujuannya terhadapnya, maka dapat diwakilkan oleh wakil dari keluarganya.
3.              Adanya suatu hal tertentu. Disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belch pihak jika timbul suatu perselisihan. Terhadap hal atau barang yang diperjanjikan itu haruslah tentang suatu yang sudah tentu jenis atau halnya.
4.              Adanya suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang dimaksud dalam perjanjian adalah isi dari oerjanjian itu sendiri. Artinya perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat obyektif dalam perjanjian sehingga bila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian itu dianggap tidak pemah lahir sehingga tidak pemah ada akibat hukumnya. Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedang syarat kedua terakhir dimana syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Selanjutnya apabila perjanjian itu memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, maka (Undang-undang Kesehatan, 1992),:
a.       isi perjanjian mengikat para pihak sebagai undang-undang;
b.      perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali
c.       perjanjian yang yang telah disepakati itu harus dilaksanakan dengan baik, jujur dan rela;
d.      para pihak tidak saja terkait pada apa saja yang terancam dalam perjanjian, tetapi juga oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Dalam transaksi teraupetik, kedua belah pihak secara umum terikat oleh syarat tersebut diatas, dan bila transaksi itu sudah terjadi maka antara kedua belah pihak dibebani hak dan kewajiban yang harus dipenuhi (Koplogan, I. Wayan, 1990).
2.      Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Adanya perkembangan hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan, yang kemudian mengarah kepada suatu hubungan hukum, maka muncullah hak- hak dan kewajiban dipihak pasien dengan tenaga kesehatan. Mengingat hak dan kewajiban dari tenaga kesehatan sangat luas, maka penulis menyebutkan akan hak dan kewajiban dari salah satu tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter. Untuk lebih jelasnya sejauhmana hak dan kewajiban yang dimiliki masing- masing pihak, maka secara singkat penulis dapat kemukakan;
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa secara profesional hak-hak tenaga kesehatan, (dokter), adalah sebagai berikut (Fred Ameln, 1986):
1)      Hak-hak Tenaga Medis
a.           hak untuk bekerja sesuai dengan stancar profesi medis
b.          hak untuk menolak melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara professional
c.           hak untuk menolak melakukan yang menurut hati nuraninya tidak baik atau tidak benar
d.          hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien apabila menurut penilaiannya kerjasama dengan pasien tidak ada lagi manfaatnya
e.           hak atas itikad baik dari pasien
f.           hak atas balas jasa
g.          hak atas keterbukaan dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap dirinya
h.          hak untuk memilih pasien. Seorang dokter itu juga mempunyai hak untuk menentukan secara bebas tentang pasien yang ingin ia terima, walaupun hak tersebut bukanlah merupakan hak yang sifatnya mulak
i.            seorang dokter juga mempunyai hak yang bersifat pribadi (mempunyai hak agar suasananya yang bersifat pribadi tidak diganggu
j.            seorang dokter mempunyai hak atas adanya suatu fair play mengenai problema-problema yang dihadapi oleh seorang pasien. Jika ia ingin berpegang pada fair play tersebut, maka sebaliknya, ia juga mengharapkan agar seorang pasien itu berpegang pada hal yang sama.
k.          seorang dokter juga mempunyai hak untuk dapat membela diri.


2)      Kewajiban-kewajiban Tenaga Medis
Kewajiban dokter menurut oleh Fred Ameln (1986) sebagai be :ikut:
a.           Kewajiban yang berhubungan dengan standar medis. Pengertian “stand ar medis” dapat dirumuskan sebagai suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus kongkrif menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkian pada ilmu medis dan pengalaman.
b.          Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan. Pada kelompok ini kepentingan masyarakat yang menonjol dan bukan kepentingan pasien. Sehingga dalam melakukan kewajibannya dokter harus mempertimbangkan untuk tidak menulis resep obat-obatan yang tidak begiti perlu
c.           Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran.
Adapun tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Menyembuhkan dan mencegah penyakit. Artinya, bahwa dokter harus melakukan tindakan medis yang ada gunanya, yaitu mengandung kemungkinan untuk menyembuhkan pasien, atau untuk menghentikan proses penyakit.
b.      Meringankan penderitaan
c.       Mengantar pasien termasuk menghadapi akhir hidupnya.
d.          Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan Dokter harus menjaga keseimbangan antara tindakan-tindakannya dengan tujuan uang ingin dicapai dari tindakan tersebut. Misalnya melakukan tindakan diagnostic yang berat terhadap suatu penyakit yang relative ringan tidaklah meinenuhi prinsip keseimbangan. Dokter haruslah selalu membandingkan tujuan tindakan medisnya dengan resiko dan tindakan tersebut, dan ia harus berusaha mencapai tujuan itu dengan resiko yang terkecil.
e.           Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien
Seorang dokter ataupun tenaga keserhatan lainya mempunyai kewajiban umum, misalnya untuk senantiasa memelihara pengetahuan dan ilmunya dengan sebaik-baiknya. Terhadap pasien, seorang dokter haruslah membantu sepenuhnya.
Dalam kode etik kedokteran juga dirumuskan mengenai kewajiban doklor terhadap paasien yaitu pasal 10 sampai pasal 14 yang berbunyi :
Pasal 10 : “setiap dokter harus senantiasa mengingat kewaj ibannya melindungi hidup Makhluk insani”
Pasal 11 : “setiap dokter wajib bersikap tulus iklhas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilan untuk kepentingan penderita”
Pasal 12 : “setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya”
Pasal 13 : ’’setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita juga setelah penderita itu meninggal dunia”
Pasal 14 : “setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain bersecia dan mampu memberikannya”.
Dalam pasal 2 kode etik kedokteran menyebutkan bahwa kewajiban seorang dokter harus dilakukan menurut ukuran yang tertinggi, maksudnya adalah bahwa dalam melakukan profesinya, dokter haruslah bertindak sesuai dengan ukuran ilmu kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum, dan agama.
3.      Hak dan Kewajiban Pasien sebagai Konsumen
Dalam kontrak teraupetik ada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yang mana hal ini erat hubungannya dengan pasien dalam mengambil sikap yaitu:
a.       Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
Hak ini baru mempunyai efek apabila manusia sebagai individu mendapat kesempatan secara mandiri untuk dengan bebas dan dengan tanggung jawab sendiri memutuskan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Mandiri maksudnya, bahwa pasien bertanggung jawab penuh atas apapun keputusan yang telah diambilnya. Kemandirian dalam kaitannya dengan unsur pertanggung jawaban hanya Himiliki oleh mereka yang telah dewasa. Hak untuk menentukan nasib sendiri dapat diartikan dalam dua hal, yaitu :
1)      hak untuk menentukan sejauh mungkin segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh dan rohani,
2)      hak untuk merencanakan, membentuk dan mengembangkan dirinya sebagaimanan yang dikehendakinya.
b.      Hak atas informasi
Hak untuk menentukan nasib sendiri tidak inungkin terwujud secara optimal bila tidak didampingi oleh hak atas atas informasi, karena keputusan akhir mengenai penentuan nasibnya itu sendiri itu dapat diberikan apabila pengambilan keputusan tersebut memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung dan ruginya apabila suatu keputusan tidak diambil.
Hak pasien menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi;
1)      hak atas informasi, adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter, tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya,
2)      hak atas persetujuan yaitu hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi,
3)      hak atas rahasia kedokteran, yaitu keterangan yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama rahasia kedokteran. Dokter berkewajiban untuk merahasiakan keterangan tentang pasien (penyakit pasien). Kewajiban dokter ini, menjadi hak pasien. Hak ini merupakan hak individu dari pada pasien.
4)      hak atas pendapat kedua (second opinion), adalah kerjasama antara dokter pertama dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini atas inisiatif dari pasien. Dengan hak ini maka keuntungan lebih besar. Pertama, pasien tidak peril mengulangi pemeriksaan ruti lagi. Kedua, dokter yang pertama dapat berkomunikasi dengan dokter yang kedua, sehingga dengan keterbukaan dari. para pakar, dapat menghasilkan pendapat yang lebih baik.
5)      hak untuk melihat rekam medik. Pengertian dari rekam medik yaitu, menurut pasal 1 (a) PermenKes No.749 a/89, “rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan
6)      Pasien juga memiliki hak konfidensialitas, yaitu yang menjamin didepan meja hijau sekalipun bahwa semua informasi tentang dirinya, keadaan fisik dan penyakitnya, harus dipercayakan kepada dokter.
Kewajiban-kewajiban Pasien
a)      Pasien dalam hal ini mempunyai kewajiban yang paling penting adalah kewajiban bahwa ia tidak menyalahgunakan haknya.
b)      Selain itu pasien harus dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan apabila telah ada persetujuan.
c)      Pasien dalam hal ini juga harus mentaati aturan- aturin yang ada pada sarana kesehatan.
d)     Pasien juga mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi medik dan mentaati nasehat dari tenaga kesehatan
e)      Pasien berkewajiban memberikan imbalan jasa kepada tenaga kesehatan
f)       Pasien mempunyai kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya. Kewajiban ini sebenamya merupakan kesejajaran dengan hak pasien untuk sendiri, yakni untuk rahasianya yang wajib disimpan oleh dokter.
4.      Perlindungan Pasien atas Pelanggaran Di Bidang Pelayanan Medis
Banyak pihak yang berpendapat bahwa pasien di dalam pelayanan medis selalu berada pada posisi yang lemah jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan. sehingga akibat dari ketidakpuasan salah satu pihak, akan selalu mengakibatkar kerugian yang lebih besar bagi pasien. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan atau masih awamnya pengetahuan yang dimiliki pasien.
Dari tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan tidak tertutup kemungkinan terjadi kelalaian yang lebih dikenal dengan istilah “malpraktek”. Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau atau orang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama
Yang dimaksud dengan kelalaian adalah sikap kurang hati-hati menurut ukuran wajar. Karena, tidak melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati yang wajar akan melakukan, atau sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati yang wajar tidak akan melakukan ii dalam situasi tersebut. Sedangkan kesalahan diartikan sebagai kelalaian berat, tidak waspada, sangat tidak hati-hati. Kelalaian dirumuskan sebagai “sikap tindak yang jatuh dibawah standar untuk ditentukan oleh hukum untukperlindungan orang lain terhadap resiko cidera yang sewajamya tidak harus terjadi”.
Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan standar profesi dan tidak sesuai prosedur tindakan medik, dapat dikatakan telah melakukan kesalahan ataupun kelalaian. Hal ini tercantum pada pasal 53 (2) UU No.  23 Tahun 1992 tenteng kesehatan, yang berbunyi ; “Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien”. Dalam hal tindakan medis terjadi penyimpangan atau kelalaian dari pihak tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan kelalaian tersebut. Dan dapat dibuktikan dengan adanya Medical Repout (Laporan Tindakan Medik). Hukum pembuktian, pasal 1865 KUH Perdata menentukan; ’’Setiap orang yang mendalilkan bahwa mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peritiwa, diwajibkan membuktikan adanya hai; atas peristiwa tersebut”.
Perlindungan terhadap pasien, jika terjadi pelanggaran dalam pelayanan medis, dalam hal ini, ada ketentuan yang mengatur. Yaitu sesuai dengan ketentuan UU Kesehatan (UU No. 23 Tahun 1992).
Perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen juga diatur dalam Peraturan Pemerintan RI No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, yaitu Pasal 23 yang berbunyi;
1)      Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat, atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau kelalaian,
2)      Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menentukan ada beberapa UU yang materinya melindungi kepentingan konsumen, yang salah astunya adalah UU No, 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, didasari pemikiran bahwa kedudukan konsumen yang leoih lemah dari pelaku usaha, di samping itu konsumen tidak  mengetahui hak-haknya. Dalam UU tersebut tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan konsumen. Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 Butir (h) mengenai hak konsumen menentukan “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimena mestinya”. Dilihat dari sudut tenaga kesehatan, tenaga kesehatan tidak dapat diidentikkan dengan pelaku usaha di dalam bidang ekonomi, sebab pekerjaan dalam bidang kesehatan banyak mengandung unsur sosial.
Perlindungan konsumen terhadap pelanggaran seseorang terhadap orang lainnya diatur juga dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1365 - 1366. Bahwa terhadap akibat yang ditimbulkannya, seseorang tersebut wajib untuk mengganti kerugian.







BAB III
PEMBAHASAN

A.    Kerugian Pasien Sebagai Konsumen Di Bidang Pelayanan Medis
Kelalaian/kesalahan dari tenaga kesehatan di dalam melaksanakan tugasnya, tentu saja sangat merugikan pihak pasien selaku konsumen. Dari kelalaian/kesalahan tenaga kesehatan dalam pelayanan medis kemungkinan beraampak sangat besar dari akibat ysng ditimbulkan, apakah dari pasien mengalami ganguan-gangguan dari hasil yang dilakukan, atau bisa juga menyebabkan cacat/kelumpuhan atau yang paling fatal meninggal dunia. Dan hal tersebut tentu s aja sangat merugikan dari pihak pasien.
Kerugian yang dialami pasien dapat diminta ganti kerugian terhadap tenaga ksehatan yang melakukan kelalaian/kesalahan. Tetapi tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian (Shidarta, 2000). Undang-Undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, denga menetapkan hanya kerugian yang dapat dikira- kirakan atau di duga pada waktu perjanjian dibuat dan yang sungguh dianggap sebagai suatu akibat k.ngsung dari kelalaian si pelaku saja dapat dimintakan penggantian.
Kalau terjadi perbuatan melawan hukum, dalam arti tenaga kesehatan melakukan kesalahan/kelalaian, tetapi kesalahan/kelalaian itu tidak menimbulkan kerugian, maka tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan/kelalaian tidak pertu bertanggung jawab hukum terhadap pasien, dalam arti tidak perlu membayar ganti rugi kepada pasien.Kerugian yang dialami seseorang akibat dari perbuatan melawan hukum, dapat berupa:
1.      Kerugian materiil, kerugian ini dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dari kerugian berupa keuntungan yang seharusnya diterima.
2.      Kerugian in materiil, kerugian yang bersifat in materiil berupa rasa takut, rasa sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
Jika melihat kasus yang terjadi tahun 2003 di Jalan Buana Kubu (Rumah Bersalin) yang mana dari pihak pasien menuntut bidan, karena menurut dari pihak pasien, bahwa dari kesalahan bidan menyebabkan bayi pertama pasien meninggal dunia. Menurut Ibu Pudji, seorang tenaga kesehatan di RSUP Sanglah, berpendapat; tenaga kesehatan (bidan) dalam hal ini sudah melakukan tugas dengan baik, tetapi bidan juga kurang hati-hati, karena seharusnya bidan mengetahui bahwa da i pihak pasien sangat memerlukan bantuan (keawaman pasien dalam bidang kesehatan). Yang mana pada waktu perjalanan menuju ke rumah sakit, bidan seharunya bisa memberikan petunjuk ataupun memberikan oksigen ataupun bantuan lain.
Menurut Ibu Astri di YLKI, berpendapat; tenaga kesehatan (bidan) yang merupakan public service, yang mana di dalam melaksankan pertolongan terhadap pasien sudah benar, namun bidan dalam hal ini melakukan kelalaian terhadap pihak pasien, karena pada waktu menyuruh ke rumah sakit Sanglah, bidan tersebut tidak mendampingi langsung pasien, melainkan dengan mengendarai kendaraan pribadi.
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa” tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Begitu pula terhadap ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata yang menyebutkan; “ setiap orang yang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati -hatinya. Dilihat dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang mana konsumen dapat menuntut haknya atas kerugian yang diterima, yaitu dalam pasal 4 (h). UU No. 8 .Tahun 999 melindungi kepentingan konsumen karena didasari atas kedudukan konsumen yang lebih lemah.

B.     Tuntutan Ganti Rugi dari Pasien Yang Dirugikan
Seseorang yang merasa bahwa dirugikan oleh seseorang lain, dapat menuntut haknya atas kerugian yang dialami terhadap yang berbuat. Begitu juga dalam pelayanan medis, seorang konsumen (pasien) yang merasa dirugikan, berhak untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dialami dalam pelayanan medis tersebut. Dari tuntutan yang dilakukan pasien haruslah berdasar, dalam arti bahwa ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang dialami memang benar dilakukan oleh yang bersangkutan (tenaga kesehatan). Seseorang dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya, kalau seseorang tersebut melakukan kelalaian/kesalahan dan dari kelalaian/kesalahan itu menimbulkan kerugian (Shidarta, 2000).
Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum dari tenaga kesehatan, dalam hal berbuat kesalahan/kelalaian. Tenaga kesehatan tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak disengaja, sebab kesalahan/kelalaian tersebut menimbulkan kerugian terhadap pasien, dan menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi. Kalangan kesehatan harus tetap menyadari bahwa dalam menjalankan profesi kesehatan, mereka tidak saja bertanggung jawab terhadap pasien (professional responsibility) tetapi juga bertanggung jawab di bidang hukum (legal responsibility) terhadap pelayanan yang diberikan (Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987). Pada dasamya pertanggung jawaban perdata bertujuan untuk memperoleh kompersasi atas kerugian yang diderita disamping untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dan biasanya yang menjadi sebab baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, merupakan dasar untuk menuntut tanggung jawab dari tenaga kesehatan.
Yang dimaksud dengan wanprestasi, yaitu keadaan tidak terpenuhinya suatu prestasi yang disebabkan adanya kesalahan dari salah satu pihak di dalam suatu perjanjian. Kesalahan tersebut dapat berwujud :
1.      Kesengajaan, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan diketahui dan dikehendaki.
Untuk terjadinya kesengajaan tidak    diperlukan adanya maksud untuk menimbulkan kerugian kepada orang lain. Cukup kiranya jika si pembuat walaupun mengetahui akan akibatnya, tetapi tetap melakukan perbuatan tersebut.
2.      Kelalaian, yaitu perbuatan di  mana si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang            merugikan orang lain. Perbuatan wanprestasi dapat berupa:
a.       melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang di janjikan,
b.      tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya,
c.       melakukan apa yang dijanjikan tapiu terlambat,
d.      melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Terhadap wanprestasi tersebut dapat dikenakan berupa sanksi, yaitu; (1) membayar kerugian yang di derita oleh pasien, (2) pembatalan perjanjian, (3) peralihan resiko, dan (4) membayar biaya perkara.
Kesalahan tenaga kesehatan di dalam menjalamkan profesinya dalam hal adanya kontrak teraupetik (pem ilihan atau peningkatan kesehatan pasien) (Jusuf Hanafiah dan Amir Amri, 1999). Pada dasamya kesalahan yang berkaitan dengan kewajibannya yang timbul dari kontrak tersebut. Bila kerugian yang diderita pasien didasarkan pada wanprestasi, maka pasien harus mempunyai bukti kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari tenaga kesenatan sesuai dengan standar profesinya. Dalam hukum kesehatan tuntutan berdasarkan wanprestasi dapat did isarkan apabila seorang (tenaga kesehatan) atau suatu lembaga (rumah sakit) telah berjanji untuk, memberikan pelayanan kesehatan, tetapi kemudian temyata tidak/tidak cukup melaksanakan janji tersebut, padahal tidak berada dalam keadaan memaksa. Untuk memperoleh ganti rugi sebagai akibat dari wanprestasi, yang mana Pasal 55 UU No. 23 /1992 Tentang Kesehatan menyebutkan;
1.      Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang di lakukan tenaga kesehatan
2.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari kerugian yang dialami pasien, dalam hal ini juga dapat menuntut ganti rugi sesuai ketentuan dari Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan yaitu ketentuan Pasal 23. Pasal tersebut dapat ditafsirkan sehingga memberikan kemungkinan untuk menggugat tenaga kesehatan baik berdasarkan wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.
Dalam hal tuntutan, didasarkan perbuatan melawan hukum, maka pashn dapat menuntut tenaga kesehatan atas kerugian yang diterima. Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Inti dari pasal ini adalah ganti rugi yang harus diberikan oleh pihak yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Pengertian perbuatan dalam arti luas berdasarkan Arrst Hoge Raad 31 Januari 1919 adalah mencakup pengertian berbuat atau tidak berbuat, yang melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum itu sendiri atau kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri sendiri atau benda orang lain. Ini berarti kesalahan diartikan secara luas yang meliputi kesengajaan, kelalaian dan kurang berhati-hati.
Tuntutan tanggung jawab tenaga kesehatan yang didasarkan atas perbuatan melanggar hukum maka pasien harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami disebabkan karena kesalahan tindakan tenaga kesehatan yang;
1.      bertentangan dengan kewajiban professional
2.      melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesionalnya
3.      bertentangan-dengan kesusilaan
4.      bertentangan dengan kepatutan masyarakat.
Di lihat dari Pasal 1365 KUH Perdata, bahwa untuk mencapai hasil yang baik dalam melakukan tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum haruslah memenuhi unsur-unsur (Subekti, 1985) : (1) perbuatan melawan hukum, (2) kesalahan/kelalaian, (3). kerugian, dan (4) hubungan kausal antara kesalahan/ kelalaian dengan kerugian.
Untuk dapat dituntut berdasarkan perbuatan melawan hukum, Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya kesalahan. Syarat kesalahan ini dapat diukur secara obyektif dan subyektif.
a.       Kesalahan yang diukur secara obyektif, bahwa orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dianggap salah secara obyektif bila yang bersangkutan lain dari yang seharusnya dilakukan orang-orang umum dalam keadaan sedemik .an rupa menurut tata kehidupan masyarakat yang berseangkutan. Di sebut obyektif, karena kesalahan ini dilandasi oleh tata kehidupan masyarakat di lingkungan masyarakat tersebut.
b.      Kesalahan yang diukur secara subyektif, adalah melihat kepada orang yang melakukan perbuatan tersebut, apakah yang bersangkutan dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya itu. Jadi subyeknya harus dibedakan antara orang yamng cakap menurut hukum dengan yang tidak cakap menurut hukum.

C.    Tanggung Jawab Tenaga Medis
Kasus hukum dalam pelayanan medis umumnya terjadi di rumah sakit dimana tenaga kesehatan bekerja. Rumah sakit merupakan suatu yang pada pokoknya dapat dikelornpokkan menjadi:
-          pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan reliabilitatif
-          pendidikan dan latihan tenaga medis
-          penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran
Pertanggung jawaban hukum rumah sakit, dalam hal ini badan hukum yang memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang teijadi, bisa secara; (a) langsung sebagai pihak, pada suatu peijanjian bila ada wanprestasi, atau (2) tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan perundang-undangan melakukan perbuataii melanggar hukum
Tenaga Kesehatan yang berpraktek di rumah sakit bisa merupakan karyawan, misalnya dokter dir.ebut (dokter pumawaktu) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor). Kadangkala pasien sulit mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu ada pendapat yang mengatakan bahwa RS sebagai suatu lembaga yang memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan, bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability dimana secara resmi terhadap pasien yang di rawat, RS bertanggung jawab atas pengendalian mutu secara keseluruhan dari pelayanan yang, diberikan. Jika terjadi kesalahan yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit bersangkutan, selain tenaga kesehatan yang melakukan tindakan, rumah sakit dalam hal ini juga bertanggung jawab atas bawahannya.
Sanksi yang dijauhkan kepada tenaga kesehata yang melakukan kesalahan ataupun kelalaian dapat berupa; nasehat- nasehat dan anjuran, teguran-teguran keras, usul pencabutan ijin praktek, usul pemindahan ke tempat lain. Terhadap tenaga PNS yang bekerja di Rumah sakit yang terbukti bersalah, sanksi yang diberikan kemungkinan dipindahkan ke tempat lain, sedangkan terhadap tenaga swasta biasanya sanksi yang diberikan berupa diberhentikan sementara dari tugasnya atau dipecat.
Doktrin Vicarious Liability Let The Master Answer, (Majikan-Karyawan) bisa diterapkan dalam hubungan rumah sakit dengan karyawannya. Sehubungan dengan doktrin Vicarious Liability ini ada yang disebut doktrin Captain Of The Ship yang berlaku bagi dokter bedah yang melakukan operasi di rumah sakit. Dokter bedah tersebut, dalam hal ini tidak bekerja dalam kaitan langsung untuk dan atas nama rumah sakit, misalnya dokter tamu atau dokter karyawan untuk pasien pribadinya. Dokter itu dianggap bertanggung jawab atas kesalahan stafnya termasuk perawat bedah. Dalam hal ini perawat tersebut yang merupakan karyawan RS dianggap dipinjamkan, sehingga tanggung jawab itu beralih kepada si pemakai yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut harus rremastikan dulu apakah dokter bedah itu bertnaggung jawab atas doktrin Majikan-Karyawan dan apakah dokter itu mengawasi dan memberikan segala instruksi kepada perawat pada saat peristiwa itu terjadi. Khusus meagenai dokter anestesi, dokter bedah tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya yang pada umumnya sudah dianggap bertanggung jawab penuh sendiri atas segala tindakannya. Biasanya di dalam kamar induksi Captain Of The Shipnya adalah anestisiolog.

D.    Analisis Kasus
1.      Kasus
No. Perkara : 28 / Pdt.G/2003/ PN. DPS
Penggugat : Juli Christina (31 tahun), Kristen, Wiraswasta, Alamat; JL Buana Kubu Gg Asem XIV B/3 Dps.
Penggugat ; Bambang Santoso (28 tahun), Wiraswata, Alamat sama.
Selanjutnya disebul Penggugat I dan Penggugat II melawan;
Tergugat          :
I Gusti Ayu- Suniti; Bidan pada Rumah Bersalin Ikatan Bidan Bali, Jl. Buana Kubu No; 51 Dps, selanjutnya disebut tergugat I
I Gusti Rai Widiasih : Pimpinan Runah Bersalin Ikatan Bali, Jl. Buana Kubu No. 51 Dps, selanjutnya disebut tergugat II
Ni Wayan Suri, SKm : Ketua Yayasan Buah Delima, Jl. Buana Kubu No. 51 Dps, selanjutnya disebut tergugat III
Kasus Posisi:
Bahwa Penggugat I dan 2 adalah suami istri. Dari hasil perkawinan tersebut penggugat I mulai mengandung anak pertama. Dari pemeriksaan di Rumah Bersalin Ikatan Bidan Bali tersebut, selalu dinyatakan kandungan penggugat I dalam keadaan normal dan kondisi bayi serta Ibu sehat- sehat, tidak ada kelainan apapun. Dari pemeriksaan itu juga diawasi oleh dokter Made Suyasa Jaya, Sp OG. Pada tanggal 11 Agustus 2002, jam 20.00 wita, perut penggugat I terasa sakit ( gejala mau melahirkan), kemudian diajak oleh penggugat II ke RB Ikatan Bidan Bali untuk melakukan persalinan.Dan pada jam 21.00 wita, Bidan I Gusti Ayu Suniti (tergugat I) mulai memeriksa kandungan penggugat 11, dan memberikan petunjuk kepada penggugat I mengenai cara bemafas saat mau melahirkan ; Tergugat I juga melakukan pemeriksaan detak jantung bayi dalam kandungan. Paca jam 21.30 wita terjadi kecelakaan lalu-lintas di depan RB tersebut, kemudian tergugat I keluar dari ruangan dan meninggalkan pengugat I dan I. Pada jam 22.15 wita, tergugat baru lagi ke kamar periksa. Selanjutnya tergugat I melakukan pemecahan ketuban penggugat I. Dan saat ketuban penggugat I telah dipecahkan. oleh tergugat I, seketika itu tergugat I tampak kaget, panik serta kebingungan. Setelah itu tergugat I langsung menyuruh penggugat II untuk membawa penggugat I ke RSUP Sanglah Dps. Atas furuhan tergugat I, penggugat II mengantar pengguggat I ke RSUP Sanglah Dps dengan mempergunakan kendaraan Mobil Bix milik penggugat II tanpa ditemani tergugat I. Pada jam 22.45 penggugat I dan II sampai di RSUP Sanglah, langsung dibawa ke IRD RSUP Sanglah Dps. Tergugat I tiba di RSUP Sanglah pada jam 22.55 dengan mengendarai mobil sendiri. Pada saat itu penggugat I sedang ditangani oleh tim medis RSUP Sanglah, dan tanggal 11 Agustus 2002 jam 23.10 wita, penggugat I melahirkan, namun bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal.
Bahwa sesuai dengan keterangan pihak RSUP Sangah tanggal 30 agustus 2002, penyebab kematian bayi adalah Prolaps Tali Pusat dan kematian sudah dalam kandungan. Karena akibat tidak seriusnya dan tidak hati-hatinya tergugat I di dalam menangani persalinan penggugat I, serta tidak lengkapnya sarana yang dimiliki oleh RB tersebut, sehingga dari perbuatan itu telah mengakibatkan meninggalnya bayi pertama dan satu-saturiya dari penggugat I dan penggugat II. Tergugat II adalah pimpinan dari Rumah Bersalin tersebut di atas, bertanggung jawab penuh atas aktifitas dari RB tersebut, mengawasi semua staf yang ada di rumah bersalin, termasuk terhadap tindakan yang dilakukan tergugat I. Bahwa tergugat III adalah pimpinan Yayasan Buah Delima yang memiliki Rumah beralin tersebut. Sebagai ketua yayasan, tergugat III bertanggung jawab pula terhadap keberadaan dari rumah bersalin, termasuk terhadap pimpinan rumah bersalin tersebut yaitu tergugat II.
Sesuai dengan UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan serta pasal 1365 dan pasal 136j6 KUH Perdata. Perbuatan Tergugat I, II, III adalah perbuatan melawan hukum, maka para penggugat berhak menuntut ganti rugi kepada tergugat I, II, III.
Adapun tuntutan ganti rugi dari penggugat yaitu:
-          Ganti Rugi Materiil ; biaya pemeriksaan kandungan, susu untuk ibu, obat- obatan, biaya ambulan, sewa tempat, biaya pemakaman, biaya lain-lain. Kerugian materiil seluruhnya sebesar Rp. 23.035.000 ( dua puluh juta tiga pulu lima ribu rupiah).
-          Ganti Rugi Moril ; sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu miyar rupiah) mengingat betapa besar rasa duka, sedih kecewa akibat meninggalnya bayi pertama yang sangat di dambakan oleh penggugat.
Dalam perkara perdata/tentang gugatan ganti rugi;
1.      mengabulkan gugatan para pengugat seluruhnya,
2.      menyatakan sah dan berharaga sita jaminan dalam perkara ini,
3.      menyatakan perbuatan para tergugat dalam perkara ini adalah sebagai perbuatan melawan hukum,
4.      menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian kepada para pengguagt berupa kerugia materi sebesar 23.035.000 (dua puluh tiga juta tiga puluh lima ribu rupiah) yang harus dibayar secara seketika dan sekaligus,
5.      menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi kepada penggugat secara tanggung renteng akibat kerugian moril yang dinilai dengan uang berjumlah 1.000.000.000 (satu miliyar rupiah) atau sejumlah yang dianggap pantas dan adil menurut hukum yang harus dibayar secara seketika dan sekaligus,
6.      menghukum para tergugat membayar biaya perkara, atau mohon keputusan yang seadil-adilnya;
Putusan Hakim:
Dengan melihat bukti baik yang diajukan oleh para penggugat dan mendengarkan keterangan dari para saksi maupun dari keterangan para tergugat, serta dengan beberapa pertimbangan hakim akhimya Majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar memutuskan;
-          menolak gugatan para penggugat seluruhnya,
-          menghukum para penggugat untuk membayar biaya perkara yang berjumlah Rp 309.000,- (tiga ratus sembilan ribu rupiah);
Demikianlah dipiraiskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada hari; selasa 27 Mei 2003, oleh; I Wayan Sugawa, SH sebagai Ketua Majelis, I Gusti Lanang Dauh, SH dan Arifin,SH masing-masing sebagai hakim anggota berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 06 Pebruari 2003 No. 28/ Pdt/ G/ 2003/ PN. Dps putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umuin pada hari ini juga oleh Ketua Majelis dan hakim-hakim anggota tersebut dengan dibantu oleh Ni Ketut Sri Menawati, SH Panitera pengganti serta dihadiri pula oleh kuasa para penggugat dan para tergugat. Catatan : bahwa dari pihak para penggugat mengajukan banding.
2.      Analisa Kasus
Dari Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 28/Pdt.G/2003/PN.Dps, yang menjadi perhatian penulis adalah mengenai Perlindungan Pasien sebagai konsumen Jasa Pelayanan Medis dari kasus di atas.
Dilihat dari ketentuan pasal 54 (2) UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan; penentuan ada tidaknya kesalahan atau sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dan di dalam penjelasannya pasal tersebut maksud dari ayat (2) adalah untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan obyektif baik kepada tenaga kesehatan maupun pihak penerima pelayanan kesehatan. Peitimbangan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian atas penerapan standar profesi dilakukan oleh suatu Majelis. Majelis ini tidak hanya terdiri dari tenaga kesehatan saja, tetapi juga tenaga bidang lain yang berkaitan seperti ahli hukum, ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli agama. Berdasarkan pasal 55 ayat (1) UU No.23 Tahun 1992 berbunyi; Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan, dalam penjelasan UU tersebut dimaksud pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan kepada setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan.
Dari kasus di atas, berdasarkan surat-surat bukti dan keterangan saksi penggugat I dan tergugat, bayi dari penggugat I dan II lahir di RS Sanglah dalam keadaan mati yang disebabkan oleh Prolaps Tali Pusar.
Penulis berpendapat, bahwa bidan (tergugat I) telah melakukan pertolongan dengan baik, dari pemeriksaan, maupun pemberian petunjuk saat mau melahirkan. Tetapi pada waktu ketub?n penggugat pecah, bidan langsung menyuruh penggugat II (suami penggugat I) untuk segera membawa penggugat I ke RS Sanglah. Pada saat penggugat II membawa penggugat I ke RS, bidan seharusnya mendampingi penggugat I langsung ke rumah sakit. Jika melihat kondisi dari penggugat I sudah mau melahirkan, seharusnya bidan ada dan menberikan petunjuk ataupun bantuan lain guna membantu memperingan penderitaan pasien.











BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan dalam bab dimuka, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.      Perlindungan hukum terhadap pasien ada, hal ini diatur di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan dan KUH Perdata.
2.      Pihak pasien, dapat menuntut ganti rugi terhadap kesalahan kelalaian tenaga medis, yang didasarkan ketentuan Pasal 1365 - 1366 KUH Perdata, Pasal 55 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Pasal 23 dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
3.      Mengenai siape yang haras bertanggung jawab terhadap kerugian pasien yaitu rumah sakit tidak selalu bertanggung jawab jika terjadi kesakhan dari tenaga kesehatan di Rumah Sakit bersangkutan,,karena dari tenaga kesehatan sendiri ada yang langsung bertarigung jawab atas kerugian yang dialami pasien.
B.     Saran
Hendaknya perlindungan hukum terhadap pasien maupun perlindungan dan tanggung jawab tenaga kesehatan haruslah diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Pengaturan khusus iri diperlukan baik untuk kepentingan pasien itu sendiri dan tenaga kesehatan. Dari pihak pasien sendiri jika merasa tidak puas terhadap tindakan tenaga kesehatan, janganlah mengambil kesimpulan dan mengganggap kesalahan selalu berada pada pihak tenaga kesehatan.


















DAFTAR PUSTAKA


Benyamin Lumenta. 1989. Pasien, Citra, Peran, dan Perilaku. Kanisius, Yogyakarta.

Benyamin Lumenta. 1989. Pelayanan Medis, Citra, Konflik, dan Harapan. Kanisius, Yogyakarta.

Chrisdiono. M. Achadiat. 1996. Pernik-Pernik Hukum Kedokteran, Melindungi Pasien dan Dokter. Widya Medika, Jakarta.

Danny Wiradharma. 1996. Penuntut Kuliah Hukum Kedokteran. Binarupa Aksara, Jakarta.

Djamali.R Abdoel dari L.Terja Permana. 1988. Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Da, am Menangani Pasien. Abardin, Jakarta.

Gunawan Widjaya dan Yani Ahmad. 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik. Universitas Indonesia, Jakrta.

Hermien Hadiati dan Keoswadji. 1984. Hukum dan Masalah Medik. Airlangga, Surabaya.

Jusuf Hanafiah dan Amir Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Kedokteran EGC, Jakarta.

Leenen dan Lamintang. 1991. Pelayanan Kesehatan dan Hukum, binacipta, Bandung.

Moegni Djojodirjo. 1989. Perbuatan Melawan Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta.
Setiawan, R. 1986. Pokok-PokokHukum Perikatan. Binacipta, Bandung,
Setiwan. R. 1986. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Alumni, Bandung.

Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo, Jakarta.

Soerjono Soekantc dan Herkutanto. 1987. Pengantar Hukum Kesehatan. Remadja Karya, Bandung.

Subekti. 1985. Pokok- Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.

Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Mandar Maju, Bandung.

Wirjono Prodjodikoro. 1999. Perbuatan Melanggar Hukum. Sumur, Bandung.

Yahya Harahap. 1999. Segi-segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan

Subekti, R dan Tjitro Sudibyo. 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, XXVIII, Pradnya Paramita, Jakarta.

Subektij R dan Tjitro Sudibyo. 1992. Undang-Undang Kesehatan, 1992, Sinar, Grafika, Jakarta.

Koplogan, I. Wayan. 1990. Peranan Pasien Terhadap Timbulnya Malpraktek Kedokteran, Hukum UNUD. Universitas Udayana, Denpasar.



0 comments:

Proudly Powered by Blogger.